Pemilih Pemula dan ‘Lingkaran Setan’ Korupsi

idealoka.com – Pemilu 2019 adalah momentum perubahan. Masyarakat sipil dapat mengambil porsi untuk mempengaruhi dan mengarahkan perubahan. Keterlibatan para pemilih pemula dalam gerakan perubahan melalui pemilu menjadi keniscayaan yang sangat tidak boleh dilupakan peluangnya. Berawal dari para pemilihnya dan pilihannya pada Pemilu 2019 nanti, keberadaan Strategi Nasional Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi (Stranas PPK) dan bahkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai lembaga pemerintah utama pengiat gerakan integritas dan antikorupsi bagi pemerintah dan publik menjadi pertaruhan. Jika Pemilu 2019 gagal lagi menghadirkan politisi dan pemerintahan yang memiliki integritas dan bersih, kemungkinan keberadaan Stranas dan KPK akan semakin menciut.

Menurut Ade Irawan, salah satu peneliti ICW, kebanyakan pemuda belum mengangggap isu anti korupsi sebagai isu mereka, hal tersebut disebabkan anggapan korupsi tidak berhubungan langsung dengan kelompok muda. Korupsi diasumsikan berhubungan dengan kerugian negara, pelanggaran aturan, atau urusan orang tua. Hal tersebut berimplikasi pada upaya memutus mata rantai korupsi dalam sistem politik Indonesia. Padahal jika dicermati lebih jauh, korupsi berhubungan langsung dengan berbagai kepentingan pemuda. Ambil contoh dalam hal pelayanan publik, pemuda akan menghadapi masalah yang bebelit dalam pengurusan SIM dan perizinan lainnya.

Padahal, menurut komisioner KPU, Viryan, di Jakarta, Sabtu (30/12) daftar penduduk potensial pemilih pemilu (DP4) yang diterima KPU dari pemerintah pada 27 November 2017 menunjukkan pemilih pemula mencapai angka 10.628.883 atau 6,61 persen dari total DP4, terdiri atas 5.455.160 laki-laki dan 5.173.723 perempuan. Jumlah tersebut adalah angka yang sangat signifikan dalam menentukan arah politik Indonesia tanpa korupsi.

Akar permasalahan korupsi di Indonesia bukan terletak pada tiadanya aturan, undang-undang, dan lemahnya struktur hukum, tetapi lebih disebabkan masih lemahnya budaya hukum internal (ide-ide dan praktik yang dilakukan oleh para pengemban hukum) dan juga adanya hukum eksternal (lemahnya kesadaran masyarakat kepada hukum) (Kalla, 2009). Secara perundangan, hukum di Indonesia sudah cukup baik. Hal ini dikarenakan adanya UU No. 31 Tahun 1999 yang memberikan hukuman maksimal pada koruptor dengan hukuman mati dan Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 telah menambahkan materi baru yakni gratifikasi yang diancam penjara minimal 4 tahun maksimal penjara seumur hidup dan denda minimal Rp200.000.000 dan maksimal 1 miliar (Budiyono, 2013; Kalla, 2011; King, 2000).  Tidak hanya itu, pemerintah juga telah membentuk Tim Pemberantas Tindak Pidana Korupsi (Timtas Tipikor) dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang ditetapkan di dalam Undang-Undang No. 30 Tahun 2002, Undang-Undang No. 46 Tahun 2009 tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Budiyono, 2013). Namun banyaknya aturan hukum yang ada masih dapat melenggangkan praktik korupsi di Indonesia (King, 2000). Hal ini dibuktikan sesuai lansiran Corruption Perceptions Index (CPI) bahwa posisi Indonesia yang berada pada peringkat 88 dengan poin 36 (mendekati 0 semakin tinggi tingkat korupsi).

Padahal kasus korupsi merupakan ancaman yang serius dan merugikan Negara dalam berbagai sektor. Seperti di Afrika, permasalahan korupsi berimplikasi pada menurunnya pemberdayaan pada masyarakat, seperti kurangnya perhatian kepada masyarakat. obat sampai kurangnya kepedulian terhadap masalah penyakit serius seperti HIV/ AIDS (Gebrekhidan, 2003; Lheriohanma, 2011). Kasus korupsi juga disebabkan adanya budaya materialism yang ditunjukan dengan memperkaya keuangan pribadi (McCornac, 2012; Shaw, 2008; Tanaka, 2001). Adanya kerugian negara guna memperkaya keuangan pribadi, maka korupsi juga sering disebut sebagai kejahatan ekonomi (Salifu, 2008). Selain itu, praktik korupsi juga dilakukan dengan modus pembangunan sekolah dan perguruan tinggi. Seperti pada studi yang dilakukan Florova (2014) bahwa di Rusia, dana penyelenggaraan pendidikan diselewengkan oleh pihak eksekutor dengan mengurangi kualitas bangunan sesuai dengan standar yang diterapkan.

Menanggapi hal itu, permasalahan korupsi menjadi bahasan utama yang dimiliki oleh setiap Negara. Tidak heran jika banyak kajian oleh kalangan akademisi guna berpartisipasi dalam penanggulangan korupsi. Misalnya riset yang dilakukan oleh Charoensukmongkol & Moqbel (2014) di Thailand. Adanya transparansi melalui sistem komputerisasi mengurangi tindak pidana korupsi di Thailand. Riset lain ditunjukan oleh Mevliyar (2008) melalui partisipasiya dalam penanggulangan tindak pidana korupsi di Timur Tengah dan Afrika Utara. Mayoritas masyarakat yang beragama Islam, membuat penanggulangan korupsi melalui nilai-nilai yang di ajarkan Islam.

Kajian korupsi di Indonesia juga dipaparkan oleh Antoni (2015), pemberitaan korupsi di Indonesia  menjadi komoditas untuk dijual. Kecenderungan penayangan berita korupsi oleh media di Indonesia dengan mengutamakan dramatisasi si koruptor dalam melakukan tindakan korupsi seperti pengaliran uang korupsi ke istri simpanannya ataupun hubungan koruptor dengan teman-teman wanitanya.

Penjelasan di atas, menunjukan terbatasnya informasi pendidikan antikorupsi di Indonesia. Apalagi, opini publik yang terbentuk adalah KPK, hanya berfokus pada penindakan dan mengesampingkan pencegahan (Antoni, 2015). Pendidikan dan Pencegahan kurang dimunculkan ke publik, karena aspek komodifikasi. Melihat hal tersebut, perlunya memunculkan gerakan kelas menengah, seperti menyebarkan nilai antikorupsi yang menonjolkan aspek pencegahan, mengingat permasalahan korupsi merupakan permasalahan utama yang dihadapi oleh bangsa-bangsa di dunia selain permasalahan kesengsaraan, kemiskinan, kebutahurufan, dan pengangguran (Lheriohanma, 2011; Fursova & Simons, 2014; Osipian, 2008).

Korupsi di Indonesia selalu dikaitkan dengan politik. Kasus-kasus korupsi skala besar yang menghiasi media massa pada umumnya melibatkan petinggi atau tokoh partai politik, pejabat tinggi pemerintah (pusat dan daerah), pejabat tinggi penegak hukum (kehakiman, kejaksaan dna kepolisian) serta politisi di DPR. Survei yang dilakukan KPK menunjukkan 92.70% responden menyatakan bahwa pemimpin yang tersangkut kasus korupsi merupakan hal yang umum terjadi di Indonesia (KPK, 2013: 12). Hubungan ini bisa jadi terkait satu dengan lainnya. Ketidakpercayaan publik terhadap para pejabat publik, juga mendorong ketidakpercayaan pada sistem penopangnya. Pemilu di Indonesia hari-hari ini dimaknai sebagai sarana yang hanya akan menghasilkan perilaku berulang para pejabat publiknya (nasional maupun daerah), yakni korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan. Persepsi akan keniscayaan yang demikian yang mendorong terus merosotnya angka partisipasi dalam pemilu, karena pemilu dinilai tidak akan menghasilkan pemerintahan yang mampu melakukan perubahan yang berarti.

Namun, pemilih pemula merupakan segmen khusus yang memiliki antusiasme tertentu menggunakan hak suaranya untuk kali pertama keikutsertaan mereka dalam pemilu. Antusiasme ini pula yang perlu untuk dipahami lebih jauh, seperti apa antusiasme itu akan mereka tuangkan dan untuk apa? Seberapa besar mereka memahami saluran itu akan mengarah kepada apa yang mereka harapkan bagi kehidupan mereka dan masyarakat umum menjadi lebih baik? Ataukah hanya menjadi saluran antusiasme semata, sebagai aktivitas pertama kali untuk menggunakan hak suara mereka?

Pendidikan antikorupsi pada pemilih pemula harus digalakkan dalam rangka menanamkan nilai-nilai antikorupsi. Penguatan dan pembiasaan integritas pada pemilih pemula akan membentuk bibit bibit unggul politisi dan masyarakat yang  yang menjunjung tinggi nilai kejujuran sehingga mampu memutus mata rantai korupsi di Indonesia. (*)

Penulis:

Abdul Allam Amrullah

  • Pengajar di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Terbuka (UT) Unit Program Belajar Jarak Jauh (UPBJJ) Malang
  • Lulusan Magister (S-2) Jurnalisme dan Komunikasi Massa di Sikkim Manipal University, India.

Related posts

Leave a Reply