Gudo, Wajah Kampung Toleran dari Jombang

Tampak rumah warga Tionghoa yang hidup harmonis dengan masyarakat pribumi di Desa/Kecamatan Gudo, Jombang.

Kampung ini adalah wajah solidaritas dan toleransi antar sesama. Tak memandang etnis dan agama, semua saling membantu dan menghormati. Toleransi itu berlangsung ratusan tahun dan akan tetap abadi.

idealoka.com –Bangunan klenteng ini terlihat biasa dan tak begitu luas. Warna khas merah tua dan kuning menjadi warna dominan sebagaimana warna khas budaya Tiongkok. Ada tiga bagian ruangan di klenteng tersebut, ruang depan atau teras, tengah, dan ruang utama berisi altar pemujaan dewa atau leluhur.

Read More

Tak seperti klenteng pada umumnya yang didominasi arsitektur khas Tiongkok, pengaruh arsitektur Jawa terasa di klenteng ini. Atap genting teras depan berbentuk joglo khas Jawa.

Di atas atap terdapat ornamen dua pasang naga yang berhadapan dengan mustika (zhu) di tengahnya. Tepat di langit-langit atap teras terpampang papan bertuliskan Tempat Ibadah Tri Dharma Hong San Kiong, Gudo. Klenteng ini adalah satu dari dua klenteng yang ada di Kabupaten Jombang, Jawa Timur. Tepatnya di Desa/Kecamatan Gudo, sekitar 15 kilometer selatan pusat kota Jombang.

Beberapa bagian bangunan kuno klenteng Hong San Kiong sengaja dipertahankan. Salah satunya pagar. Pagar besi dengan tiang berornamen batu itu sumbangan dari salah satu jemaah klenteng. Keterangan itu tertulis dan terukir di salah satu tiang pagar dalam bahasa Mandarin dan bahasa Indonesia ejaan lama: Roedji Soembangan Dari Njonjah Loe Tjien Tjing Gringging 28-2-1938 (Pagar Sumbangan Dari Nyonya Tjien Tjing Gringging 28-2-1938). Sedangkan di dua tiang pagar terdapat patung burung yang mencengkeram tiang pagar.

Masuk ke dalam kawasan klenteng, saya disambut kakek tua berseragam satpam. “Ada perlu apa mas?,” kata Suyoto yang sudah lebih dari 30 tahun jadi satpam di klenteng setempat, Minggu, 4 Februari 2018.

Ia pun memanggil salah satu pegawai klenteng untuk melayani apa yang saya butuhkan dalam menggali sejarah klenteng. Saya diberi sebuah buku berbahasa Indonesia ejaan lama cetakan tahun 1954. Buku berjudul “Sedjarah Gudo” itu karangan Liem Sik Hie. Dari buku ini saya mendapat beberapa keterangan penting mengenai Gudo, keberadaan etnis Tionghoa, dan klenteng yang dulu disebut sebagai Rumah Berhala Tionghoa.

Dalam buku tersebut, Liem menyatakan ia tak menemukan referensi sejarah kapan muncul etnis Tionghoa di Gudo dan kapan berdirinya klenteng. Hanya ditemukan catatan keuangan klenteng yang paling tua berangka tahun 1926. Liem juga menjelaskan keberadaan klenteng tidak bisa dilepaskan dari kampung Pecinan yang kemudian disebut kampung atau dusun Petukangan atau Tukangan. Disebut Tukangan karena warga Tionghoa yang tinggal disitu kebanyakan bekerja sebagai tukang atau pekerja pabrik gula yang hanya berjarak sekitar 600 meter dari klenteng. Namun sejak tahun 1930 pabrik gula cabang dari pabrik gula Merican, Kediri, itu tutup.

Pabrik Gula Gudo sebelum ditutup tahun 1930. (Arsip Nasional Belanda) Sumber: https://web.facebook.com/KABAREWONGJOMBANG/

Selain pekerja pabrik gula, warga Tionghoa di Gudo dulu juga bekerja sebagai pedagang, buruh, dan pegawai pegadaian. “Tapi sekarang hampir 100 persen pedagang di pasar,” kata warga Gudo yang juga pengurus dan penyuluh agama Konghucu di klenteng setempat, Nanik Indrawati.

Mengenai kapan berdirinya klenteng memang belum ditemukan catatan atau prasasti. Namun menurut Nanik, seorang profesor kepala perpustakaan nasional di Taiwan pernah berkunjung ke klenteng Hong San Kiong. “Dia bisa membaca huruf Mandarin sedangkan pengurus klenteng generasi sekarang tidak ada yang bisa,” katanya. Profesor tersebut, menurut Nanik, mengatakan bahwa jika merujuk pada papan-papan berisi syair berbahasa Mandarin di altar pemujaan, terdapat angka tahun Tiongkok yang jika dikonversikan adalah tahun 1830 masehi.

Profesor tersebut juga mengunjungi kompleks makam Tionghoa di Gudo dan menemukan angka tahun tertua pada salah satu nisan makam. “Di nisan makam tertulis yang dimakamkan itu pejabat kerajaan zaman Dinasti Ming,” kata Nanik. Merujuk sumber sejarah dinasti Tiongkok, Dinasti Ming ada di tahun 1368 hingga 1644 masehi. Sehingga antara tahun tersebut dipercaya sudah ada etnis Tionghoa yang datang ke Gudo.

Nanik berasumsi nama “Gudo” berasal dari bahasa Mandarin yang terpengaruh logat Jawa yang artinya kota tua. “Gudo dulu sudah seperti kota,” katanya,” katanya. Gambaran Gudo sebagai kota kecil itu menurutnya bisa dilihat di arsip perpustakaan nasional Belanda. “Kalau kita lihat gambarnya dari atas, ada pabrik gula yang dijalankan dengan 70 pintu air atau orang menyebutnya rolak 70, ada perkampungan Tionghoa, pasar, dan kuburan. Untuk masyarakat kota, fasilitas kehidupannya sudah cukup,” katanya.

Rolak (pintu air) 70 atau 70 pintu air di Gudo, Jombang. Bangunan yang dibangun VOC ini sudah tidak berfungsi lama karena bencana lahar dingin Gunung Kelud. Sumber: https://web.facebook.com/KABAREWONGJOMBANG/

Menurut Ketua Yayasan Klenteng Hong San Kiong, Toni Harsono, Gudo dulu adalah sebuah daerah dengan perindustrian, pertanian, dan perdagangan yang maju. “Gudo dulu lebih ramai dari sekarang. Dulu ada pabrik gula dan banyak gudang tembakau,” katanya. Menurutnya, jumlah warga etnis Tionghoa di Gudo saat ini jauh menurun. “Mungkin sekitar 20 kepala keluarga dan rata-rata berdagang,” katanya. Berkurangnya etnis Tionghoa di Gudo karena ada yang pindah ke kota lain mengikuti suami atau istri atau pindah berdagang ke Jombang kota.

Foto udara Gudo zaman penjajahan Belanda (Arsip Nasional Belanda). Sumber: https://web.facebook.com/
KABAREWONGJOMBANG/

Versi lain mengenai awal mula adanya etnis Tionghoa di Gudo diceritakan mantan Kepala Desa Gudo Budianto Tjokroatmojo, 74 tahun. “Menurut cerita dari para sesepuh desa dulu, ada kaitannya dengan penyerbuan tentara Tartar (Mongol) yang dibantu Raden Wijaya ke Kediri,” kata pria yang menjabat kepala desa sejak 1982 hingga 1996 ini.

Puluhan ribu tentara Tartar itu dikirim kaisar Dinasti Yuan, Kubilai Khan, ke Jawa untuk menyerang kerajaan Singhasari yang dipimpin Kertanegara. Sebab Kertanegara menolak memberi upeti pada Meng Qi suruhan kaisar dan bahkan memotong telinganya. Namun saat tentara Tartar datang, Singhasari sudah hancur dan Kertanegara tewas akibat serangan kerajaan Kadiri yang dipimpin Jayakatwang.

Akhirnya, menantu Kertanagera, Raden Wijaya, bersedia tunduk pada pasukan Tiongkok asal pasukan Tiongkok ikut menyerang kerajaan Kadiri (Kediri) yang dipimpin Jayakatwang. Tawaran ini disetujui. Serangan gabungan pasukan Raden Wijaya dan Tartar dilakukan lewat sungai dan darat. “Nah, pasukan Tartar yang ikut menyerbu dari darat itu berhenti (bermarkas) di Gudo,” katanya. Menurutnya, setelah membawa kemenangan, banyak pasukan Tiongkok tidak kembali ke negerinya dan menikah dengan masyarakat pribumi (Jawa). Dari sinilah lahir generasi peranakan atau keturunan Tiongkok di Gudo.

Dikutip dari wikipedia.com, serangan pasukan Tiongkok dan Raden Wijaya ke Kediri terjadi 20 Maret 1293. Sehingga diperkirakan tahun itu sudah ada etnis Tionghoa dari Tiongkok yang menetap di Gudo atau tak kembali ke negerinya.

Mengenai asal usul kata “Gudo”, menurut Budi, berdasarkan cerita sesepuh desa, karena banyak pasukan Tiongkok yang tinggal di Gudo tergoda dan menikah dengan pribumi. Dalam bahasa Jawa, “gudo” berarti godaan atau tergoda. “Selain itu katanya dulu ada tokoh dari pasukan Tiongkok yang bernama Guh Do. Lidah orang Jawa menyebutnya Gudo,” katanya.

Namun cerita turun temurun ini belum bisa jadi referensi utama karena belum ada kajian ilmiahnya. Masih berdasarkan cerita sesepuh desa, menurut Budi, desa tersebut dulu tidak bernama Gudo. “Tapi Sukoharjo. Tidak tahu kapan berubah nama jadi Gudo,” katanya.

Berbeda Membawa Berkah

Gadis berjilbab tampak menyiapkan kebutuhan di ruang utama altar pemujaan Klenteng Hong San Kiong, Desa/Kecamatan Gudo, Kabupaten Jombang, Jawa Timur. Sementara di ruang makan dan dapur klenteng yang berada di belakang, beberapa wanita sibuk memasak dan menyiapkan makanan. Ada juga wanita berjilbab lainnya yang menyapu ruang makan dan mengelap lemari kaca tempat perabotan makan.

Tampak salah satu pegawai Klenteng Hong San Kiong yang berjilbab sedang bekerja di klenteng setempat.

Mereka para pembantu atau pegawai klenteng yang rata-rata beragama Islam. “Yang pasti ada sembilan pegawai dan mayoritas Islam. Kalau ada acara besar bisa banyak lagi yang bantu-bantu disini dan semua warga sekitar,” kata pengurus Klenteng Hong San Kiong yang juga penyuluh agama Konghucu, Nanik Indrawati, saat ditemui di klenteng setempat, Minggu, 4 Februari 2018.

Pengurus, juru kunci klenteng atau pemandu ibadah, dan pegawai klenteng tampak membaur. Mereka bercengkrama dan makan bersama. Tak ada sekat meski beda etnis dan agama.

Pengurus dan petugas keamanan Klenteng Hong San Kiong bercengkrama di teras klenteng.

Nanik mengatakan etnis Tionghoa di Gudo tak seperti etnis Tionghoa pada umumnya. “Sudah sangat terpengaruh Jawa,” ucapnya. Bahkan dalam tutur kata mereka, lebih banyak menggunakan bahasa Jawa, bukan bahasa Indonesia campuran khas Tionghoa di Indonesia. “Kami sebagai pedagang di Pasar Gudo sering menggunakan bahasa Jawa halus kalau melayani pembeli,” katanya.

Kata sapaan dalam bahasa orang Tionghoa juga jarang digunakan diantara mereka. “Sama dengan orang Jawa, kami juga memanggil dengan sapaan bapak atau ibu,” ujarnya. Selain faktor lingkungan yang mayoritas Jawa, faktor keturunan juga mempengaruhi. “Tionghoa di Gudo ini sudah kecampuran Jawa. Banyak yang menikah dengan orang Jawa sini,” katanya.

Tokoh masyarakat yang juga mantan Kepala Desa Gudo, Budianto Tjokroatmodjo, mengatakan masyarakat Gudo dengan agama dan keyakinan beragam bisa hidup berdampingan dan harmonis sampai sekarang termasuk antara etnis Tionghoa dan pribumi Jawa. “Disini agamanya lengkap, ada Konghucu, Katolik, Kristen, dan Islam, tapi tidak pernah terjadi gesekan,” kata tokoh masyarakat yang akrab disapa Budi ini.

Toleransi dan gotong royong antar warga sangat tinggi. Ketika hari raya keagamaan, mereka saling silaturahmi dan mengucapkan selamat hari raya. “Saat mereka merayakan Natal, kita mengucapkan selamat. Sebaliknya ketika Idul Fitri mereka datang dan mengucapkan selamat,” katanya.

Ketika ada yang meninggal, warga juga saling melayat dan mengantarkan jenazah sampai dimakamkan meski beda agama. “Kalau ada yang meninggal, yang Islam juga ikut melekan (begadang),” ujarnya. Sebaliknya, warga non muslim juga diundang ketika tahlilan atau pengajian orang Islam yang meninggal dan mereka datang. “Mereka juga ikut doa sesuai agamanya saat tahlilan,” ujar Budi.

Begitu juga ketika perayaan atau kegiatan di klenteng. “Dalam setahun setidaknya ada dua kali kegiatan besar di klenteng dan melibatkan masyarakat sekitar,” ucap Budi. Untuk menyiapkan upacara besar, pihak klenteng juga menggunakan jasa masyarakat sekitar dengan upah tertentu. Sedangkan untuk keamanan melibatkan aparat TNI dan Polri dibantu sipil seperti Banser NU.

Berbagi dengan Warga

Di Klenteng Hong San Kiong, sajian makanan dan buah untuk arwah leluhur tak hanya dari umat Tri Dharma. Masyarakat sekitar juga membawa sajian yang sama demi mencari berkah. Salah satunya dalam perayaan sembahyang rebutan.

Sesajian di ruang ibadah Klenteng Hong San Kiong.

Ritual cing ho ping atau ulambana ini bertujuan mendoakan arwah leluhur yang diperingati tiap tanggal 29 bulan 7 tahun Imlek. “Mirip ritual nyadran kalau di Jawa,” kata pengurus Klenteng Hong San Kiong, Nanik Indrawati, Minggu, 4 Februari 2018.

Sebelum upacara dimulai, ratusan orang berbondong-bondong menuju klenteng dengan membawa berbagai macam sajian atau suguhan. Mulai dari nasi lengkap dengan lauk pauknya, kue, sampai buah-buahan dan makanan ringan lainnya. Suguhan itu diserahkan ke klenteng.

“Pihak klenteng mengeluarkan sesajian khusus yang inti tapi yang banyak kira-kira 90 persen dari masyarakat sekitar,” kata Nanik. Ritual mendoakan arwah hanya diikuti umat Tri Dharma sedangkan masyarakat menunggu di halaman klenteng.

Setelah ibadah penganut Tri Dharma selesai, mulailah dilakukan pembagian sesajian yang sudah dikumpulkan dan diacak. “Sesajian dari masyarakat itu kami kumpulkan dan diacak dan dibagi lagi ke masyarakat dengan tambahan sembako dari yayasan klenteng,” katanya.

Disebut sembahyang rebutan karena setelah ritual dilakukan pembagian se

Kuil untuk penganut Budha di Klenteng Hong San Kiong.

sajian makanan atau buah dari masyarakat dan biasanya ada yang berebut. Menurut Nanik, dalam kegiatan ini juga timbul sugesti masyarakat tentang masa depannya. Jika barang yang didapat lebih baik atau lebih berharga dari yang diserahkan ke klenteng, dipercaya kehidupannya akan beruntung dan rejekinya melimpah.

Sebaliknya, jika yang didapat lebih kecil nilainya maka kehidupannya dipercaya akan susah. “Misalnya hari ini membawa buah mangga tapi setelah dibagi mendapat tumpeng nasi, dipercaya tahun ini akan hidup makmur. Kalau dapatnya malah lebih kecil misalnya kerupuk berarti hidupnya dipercaya akan susah. Tapi itu sugesti ya,” katanya.

Remaja yang masih lajang juga mencari berkah dari sembahyang rebutan. “Cowok atau cewek yang masih jomblo kalau bisa dapat pucuknya tumpeng nasi diyakini jodohnya akan cepat,” katanya.

Membantu Tanpa Pandang Bulu

Minggu pagi, 4 Februari 2018, tak banyak umat Tri Dharma yang beribadah di Klenteng Hong San Kiong, Desa/Kecamatan Gudo, Kabupaten Jombang. Hanya beberapa saja yang datang silih berganti. Sebelum ritual, mereka membakar hio dan menyembah patung dewa Kong Co Kong Tik Cun Ong. Setelah itu, juru kunci atau pemandu ibadah klenteng memegang pwapwee atau sepasang alat dari kayu berbentuk setengah lingkaran atau seperti bulan sabit. Pwapwee dilempar untuk mengetahui jawaban dewa.

Umat Tri Dharma beribadah di Klenteng Hong San Kiong.

Beberapa kali juru kunci juga mengocok puluhan alat seperti supit atau stik, seperti orang mengundi atau melotre. Alat itu disebut ciam sie. Nomor yang tertera pada ciam sie ini akan menentukan ramalan nasib maupun ramalan resep obat. Ramalan-ramalan itu sudah tertulis dalam 100 jenis kartu ramalan yang disediakan dalam kotak-kotak kartu ramalan berbahasa Tiongkok dan bahasa Indonesia ejaan lama.

Pengurus Klenteng Hong San Kiong, Nanik Indrawati, mengatakan pwapwee adalah salah satu alat komunikasi antara manusia dan dewa dalam ramalan kuno Tiongkok. Tujuannya minta persetujuan dewa apakah permohonan yang diajukan diterima, dilanjutkan, atau dihentikan. “Jika salah satu pwapwee terbuka atau tertelungkup artinya disetujui. Jika keduanya tertelungkup artinya tidak disetujui dan jika keduanya terbuka artinya tidak pasti,” katanya.

Menurutnya, klenteng terbuka untuk semua umat, tak hanya umat Tri Dharma. “Semua yang meminta bantuan atau pertolongan melalui Kong Co Kong Tik Cun Ong selalu dilayani asal tujuannya baik,” ujarnya.

Tak hanya etnis Tionghoa atau umat Tri Dharma yang minta bantuan di Klenteng Hong San Kiong, tapi juga masyarakat pribumi yang rata-rata beragama Islam. Keperluan mereka beragam mulai dari ingin anaknya lulus ujian, mendapat pekerjaan yang baik, sembuh dari penyakit atau masalah keluarga, sampai soal jodoh.

“Ada saja orang yang minta bantuan agar barang yang akan digunakan untuk tujuan tertentu di-blessing (diberkati) di sini. Misalnya pensil untuk ujian atau surat lamaran kerja,” ucap Nanik. Barang atau benda itu diberkati di altar pemujaan dengan bantuan juru kunci klenteng. “Bukan berarti mereka diberkati jadi umat Konghucu. Sama sekali tidak,” katanya.

Ruang menuju tempat ibadah Klenteng Hong San Kiong.

Banyak keajaiban yang diyakininya karena kekuasaan dewa yang disembah di klenteng setempat. “Pernah ada warga yang minta pertolongan agar anaknya yang hilang ditemukan. Setelah juru kunci meminta petunjuk ke dewa, anak tersebut bisa ditemukan,” katanya.

Begitu juga ketika ada warga yang sudah lama mengabdi di klenteng dan menderita sakit kanker. “Karena tidak punya biaya, maka minta bantuan ramalan resep obat dengan petunjuk dari Kong Co Kong Tik Cun Ong (Dewa Klenteng Hong San Kiong),” kata Nanik. Berkat obat tersebut, yang bersangkutan bisa bertahan hidup sampai meninggal di usia tua. “Tapi semua kembali pada kepercayaan masing-masing,” ujarnya.

Merawat Toleransi Lewat Seni

Sikap saling menghormati antara etnis Tionghoa dan pribumi di Desa/Kecamatan Gudo, Jombang, tak hanya mendatangkan kerukunan. Lebih dari itu, akulturasi sosial dan budaya juga terjadi sejak lama. Ini bisa dilihat dari keterlibatan masyarakat pribumi dalam kegiatan klenteng, ikatan perkawinan antara pribumi dan etnis Tionghoa, sampai kesenian tradisional Jawa dan Tionghoa yang tumbuh berdampingan.

Salah satu warga pribumi yang menikah dengan etnis Tionghoa adalah Sri Mukminah. Ia menikah dengan mantan Ketua Yayasan Klenteng Hong San Kiong namun sudah meninggal dunia. “Saya kenal beliau saat saya menjadi pegawai di tokonya. Setelah istri pertama beliau meninggal dunia, lalu menikah dengan saya,” ucap Sri yang jadi juru masak di Klenteng Hong San Kiong, Minggu, 4 Februari 2018.

Ia bahagia dengan sikap saling toleran dan solidaritas antara pengurus maupun pegawai di kelnteng meski beda agama atau keyakinan. “Rata-rata pegawai di klenteng ya masyarakat sekitar dan beragama Islam. Ketika waktu salat, kita ya salat,” katanya.

Bukti ikatan perkawinan pribumi dengan etnis Tionghoa juga dikatakan penjaga atau satpam Klenteng Hong San Kiong, Suyoto, 65 tahun. Pria yang sudah lebih dari 30 tahun jadi penjaga klenteng ini mengatakan ibunya dulu pernah menikah dengan warga Tionghoa di Gudo.

“Setelah suami ibu saya yang Tionghoa meninggal dunia, ibu saya menikah lagi dengan orang Tulungagung (Jawa) dan punya anak termasuk saya,” kata Suyoto.

Sekolah PAUD Satya Dharma milik Yayasan Klenteng Hong San Kiong yang digratiskan bagi masyarakat Gudo.

Hubungan sosial klenteng dengan masyarakat sekitar tak hanya saat momen perayaan tapi juga diwujudkan dalam lembaga sosial dan pendidikan.Yayasan Klenteng Hong San Kiong pernah memiliki balai pengobatan namun sudah beralih fungsi menjadi tempat Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) yang digratiskan bagi warga sekitar.

Kesenian Tionghoa dan Jawa juga tumbuh berdampingan di Gudo. Klenteng tak hanya mengajarkan atau melestarikan kesenian khas Tionghoa seperti Wayang Potehi dan Barongsai tapi juga kesenian Jawa seperti Jaranan. “Kami menyediakan tempat dan peralatan untuk latihan Barongsai dan Jaranan,” kata Ketua Yayasan Klenteng Hong San Kiong, Toni Harsono.

Proses pembuatan wayang potehi di kompleks Klenteng Hong San Kiong. (Foto: Rony Suhartono)

Toni merupakan dalang sekaligus seniman pembuat wayang potehi. Usaha pembuatan wayang potehi itu dirintis sejak tahun 2001. Selain melihat contoh wayang potehi di dalam negeri, Toni juga sempat melihat pembuatan wayang potehi di Tiongkok. Ia mendirikan museum dan bengkel pembuatan potehi di area yang masih satu kompleks dengan Klenteng Hong San Kiong. Ia dibantu beberapa orang di Jombang dan luar Jombang untuk mengukir wayang kayu potehi sampai mengecat dan memberikan sentuhan karakter wayang sesuai peran yang dimainkan.

Bilik tempat pementasan wayang potehi di halaman Klenteng Hong San Kiong.

Kesenian-kesenian tersebut tak hanya dipentaskan pada momen perayaan tertentu tapi juga digunakan sebagai sarana menjalin hubungan harmonis antar klenteng dengan masyarakat sekitar. “Disini kalau membangunkan orang sahur di bulan puasa (Ramadan) tidak menggunakan kentongan, tapi tabuhan barongsai dan jaranan yang diarak keliling kampung,” kata Toni.

Kehidupan yang harmonis antar umat beragama di Gudo dikenal sampai internasional. Beberapa pejabat tingkat nasional dan luar negeri datang ke Gudo dan mampir ke Klenteng Hong San Kiong untuk melihat langsung. Pada Maret 2017, Duta Besar Amerika Serikat untuk Indonesia Joseph R. Donovan mengunjungi klenteng setempat.

Kemudian pada Oktober 2017, perwakilan pemuda dari 21 negara di ASEAN dan beberapa negara di dunia juga mengunjungi klenteng setempat sebagai rangkaian ASEAN Youth Interfaith Camp (AYIC) di Jombang. Mereka mempelajari sikap toleransi antar umat beragama di Gudo.

Klenteng setempat juga sering jadi lokasi seminar atau diskusi keberagaman. Kegiatan mahasiswa baru dari universitas milik pesantren di Jombang juga terkadang dilakukan di asrama dan gedung pertemuan di klenteng setempat.

Papan berisi ucapan selamat ulang tahun untuk dewa di Klenteng Hong San Kiong dan kata mutiara dari komunitas GusDurian yang dipasang di klenteng setempat.

Perbedaan tak membuat mereka tersekat dan jauh. Perbedaan semakin membuat mereka satu. Seperti kalimat bijak yang ditulis pada papan ucapan selamat ulang tahun untuk leluhur Klenteng Hong San Kiong dari komunitas pecinta pemikiran Gus Dur atau GusDurian Jombang: “Semakin kita berbeda, semakin jelas dimana titik persamaan kita”. (*)

 

  • Penulis       : Ishomuddin
  • Fotografer : Ishomuddin
  • Editor         : Ishomuddin

Related posts

Leave a Reply