idealoka.com – Ketua Tobacco Control Support Center Santi Martini mengakui harga rokok di Indonesia memang terlalu murah. Ini menyebabkan jumlah perokok pemula diketahui meningkat dari 7,2 persen pada 2013 menjadi 8,8 persen pada 2016 (Sirkesnas, 2016).
Padahal sebelumnya, pemerintah melalui Kementerian Kesehatan menargetkan penurunan prevalensi perokok anak usia di bawah 18 tahun sebesar 1persen setiap tahunnya. Ini menunjukkan, rokok murah juga mendorong anak-anak yang mampu membeli rokok dan dapat teradiksi sehingga menjadi perokok yang tidak dapat berhenti seterusnya.
Berdasarkan riset Atlas Tobbaco, Indonesia menduduki ranking tiga negara dengan jumlah perokok tertinggi di dunia. Jumlah perokok di Indonesia tahun 2016 mencapai 90 juta jiwa. Indonesia sendiri menempati urutan tertinggi prevalensi merokok bagi laki-laki di ASEAN yakni sebesar 67,4 persen.
Kenyataan ini diperparah bahwa perokok di Indonesia usianya semakin muda. Data Komisi Nasional (Komnas) Perlindungan Anak menunjukkan jumlah perokok anak di bawah umur 10 tahun di Indonesia mencapai 239.000 orang. 19,8 persen pertama kali mencoba rokok sebelum usia 10 tahun, dan hampir 88,6 persen pertama kali mencobanya di bawah usia 13 tahun.
Lebih miris lagi, sebanyak 84,8 juta jiwa perokok di Indonesia berpenghasilan kurang dari Rp20 ribu per hari. Perokok di Indonesia 70 persen di antaranya berasal dari kalangan keluarga miskin.
Badan Pusat Statistik (BPS) merilis bahwa pada bulan September 2016, rokok adalah komoditas yang menyumbang kemiskinan sebesar 10,70 persen di perkotaan dan pedesaan.
“Kalau harga rokok tidak segera dinaikkan, maka Indonesia akan segera menghadapi gangguan ekonomi yang disebabkan menurunnya produktivitas dan membengkaknya anggaran jaminan kesehatan nasional,” kata Santi saat deklarasi Aliansi Masyarakat Korban Rokok Indonesia (AMKRI) Jawa Timur di Surabaya, Minggu, 22 Juli 2018. (*)