Tutup Defisit BPJS Kesehatan dengan Cukai Rokok, Pemerintah Dianggap Tak Bijak

idealoka.com – Presiden RI Joko Widodo telah mengeluarkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 28 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan. Salah satu butir yang menjadi pusat perhatian masyarakat adalah digunakannya dana pajak rokok daerah untuk menambah dana JKN (Jaminan Kesehatan Nasional).

Menanggapi hal ini, Komisi Nasional (Komnas) Pengendalian Tembakau menyampaikan beberapa pemikiran. Keputusan untuk menutup defisit Badan Penyelenggaraan Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan adalah yang tidak bisa dihindari karena, bagaimanapun, masyarakat harus mendapat pelayanan kesehatan.

Seperti yang kita tahu, defisitnya BPJS Kesehatan adalah hal yang sudah diprediksi sejak awal. Beban pembiayaan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) meningkat setiap tahun, sementara pemasukan dari iuran publik yang dikelola BPJS lebih rendah dari nilai klaim pasian JKN setiap tahunnya.

Namun, Komnas Pengendalian Tembakau menganggap bahwa menutup defisit BPJS Kesehatan dengan menggunakan dana pajak rokok daerah adalah hal yang tidak bijaksana. Pertama, pajak rokok daerah adalah hak daerah sesuai mandat Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah sehingga Perpres Nomor 82 Tahun 2018 telah melangkahi undang-undang yang ada.

Kedua, menutup defisit BPJS Kesehatan dengan dana pajak rokok daerah seharusnya bersifat
sementara/temporer karena seharusnya pajak rokok daerah sebesar 75 persen dari 50 persen penerimaan pajak rokok daerah dialokasikan sebagai dana promotif-preventif (pencegahan) dan bukan untuk penyelesaian masalah kesehatan yang bersifat kuratif (pengobatan).

Bila penutupan defisit dengan dana pajak rokok ini tidak bersifat temporer maka Indonesia harus siap dengan konsekuensi yang dihadapi dalam jangka panjang. Mengingat tingginya penyakit terdampak rokok berkontribusi pada besarnya nilai klaim pasien JKN, di antaranya yang menyerap klaim kesehatan tertinggi adalah penyakit jantung, kanker, stroke, dan gagal ginjal, pemerintah seharusnya membuat keputusan berani untuk memotong masalah sejak dari hulu.

Namun, apa yang tertulis di dalam Perpres Nomor 82 Tahun 2018 menunjukkan bahwa pemerintah membuat keputusan yang akan membuat Indonesia terus menerus dibebani pembiayaan untuk penyelesaian masalah kesehatan di hilir dengan memerintahkan semua daerah menyerahkan dana promotifpreventifnya tanpa batasan waktu sementara.

“Terus terang saya gagal paham. Pemerintah memutuskan mengambil dana pencegahan penyakit katastropik yang bersumber dari pajak rokok daerah untuk menambal defisit pengobatan penyakit katastropik. Dan ini dikukuhkan dengan Perpres, bukan sebagai upaya emergency mengatasi krisis. Akibatnya bisa fatal kalau pajak rokok diharapkan mengikuti kebutuhan untuk menambal defisit. Tanpa keinginan menaikkan harga rokok, ini akan memaksa produsen menaikkan produksi dan masyarakat meningkatkan konsumsi. Di dalam Perpres ini, tidak jelas indikasi meningkatkan premi untuk mengatasi masalah sistemik,” ujar Ketua Bidang Kajian dan Pengembangan Komnas Pengendalian Tembakau Widyastuti Soerojo dalam rilis, Senin, 24 September 2018.

Melihat hal di atas, alih-alih memerintah semua daerah menyetorkan seluruh dana promotif-preventif kesehatan tanpa batasan waktu, Komnas Pengendalian Tembakau merekomendasikan agar pemerintah, dalam hal ini Kementerian Keuangan RI untuk mengeluarkan Putusan Menteri Keuangan (PMK) sebagai aturan pelaksanaan dengan menyebutkan batasan waktu yaitu sampai masalah defisit BPJS Kesehatan
terselesaikan.

Kedua, untuk menjamin keberlangsungan JKN, pemerintah harus berani mengambil keputusan logis meskipun tidak populer secara politis untuk m
enaikkan premi asuransi dari peserta BPJS Kesehatan yang mampu bayar. Hal ini harus dilakukan mengingat rendahnya premi adalah masalah awal defisitnya BPJS Kesehatan.

Ketiga, pemerintah juga harus menaikkan harga rokok melalui cukai sebagai win-win solution. Dengan menaikkan cukai rokok, pemerintah akan mendapat dana tambahan untuk mensubsidi peserta Penerima Bantuan Iuran (PBI) yang juga berkontribusi terhadap beban JKN namun juga sebagai upaya preventif dalam masalah kesehatan yang selama ini menghantui BPJS Kesehatan.

“Kita masih menaikkan cukai rokok sampai batas atas 57 persen. Ditambah dengan menyederhanakan tingkat tarif cukai rokok, Indonesia sangat mungkin terselamatkan dari masalah beban biaya kesehatan sekaligus tingginya prevalensi perokok yang merupakan calon peserta yang akan melakukan klaim kesehatan dari penyakit berat,” kata Ketua Umum Komnas Pengendalian Tembakau, Prijo Sidipratomo.

 

Selain mengajukan rekomendasi solusi di atas, Komnas Pengendalian Tembakau juga mengecam sekeraskerasnya kepada siapa pun, pribadi maupun instansi/lembaga/kelompok, yang melakukan kampanye ajakan merokok dengan dalih untuk menyelamatkan BPJS.

Ajakan merokok bukannya akan menyelamatkan BPJS, sebaliknya justru akan menambah beban BPJS karena tingginya klaim kesehatan penyakit akibat konsumsi rokok. Selain itu, ajakan merokok sama sekali bukan tindakan yang heroik, namun sebaliknya justru mempromosikan rokok sehingga hanya akan menguntungkan industri rokok belaka yang seharusnya menjadi pihak yang paling bertanggung jawab atas beban yang ditanggung
bangsa Indonesia akibat konsumsi rokok. (*)

Related posts

Leave a Reply