PENGAWAS YANG DIAWASI: Peran Media Massa dalam Pemilu

idealoka.com – Setiap perhelatan Pemilu, diskursus peran dan independensi media massa selalu ramai di berbagai forum. Tidak hanya di kalangan peserta pemilu, pegiat demokrasi dan pemilu termasuk di kalangan organisasi dan para jurnalis berbagai media massa. Apalagi pemilu tahun 2019, sekaligus juga pemilu menjadi serentak dengan pemilihan Presiden dan Wakil Presiden. Relasi antara pemilu dengan peran media merupakan salah satu topik yang mengundang perhatian berbagai kalangan.

Irisan media dengan peserta pemilu yakni partai politik dan pasangan capres dan cawapres menjadi tema utama pada ruang diskusi berbagai kalangan. Seperti apa relasi media dengan pertarungan politik lima tahunan baik secara teori maupun dalam panggung realitas politik kontemporer.

Tak hanya kalangan intelektual jika membaca logika publik akhir-akhir ini, masyarakat sesungguhnya memberi perhatian pada penggunaan media massa dalam menyampaikan pesan-pesan politik dalam pemilu. Masyarakat tingkat bawah sekalipun, mulai gelisah dan kerap menilai keperpihakan media terhadap peserta pemilu. Sehingga masyarakat telah memiliki kesimpulan sendiri bahwa ada ketidak netralan media yang dihubungkan tokoh pemilih media yang terjun ke dunia politik.

Hal itu terutama pada media massa televisi baik nasional atau televisi lokal. Itu karena saluran media cenderung digunakan sebagai sarana kampanye baik yang akan dilakukan pada masa kampanye di media massa selama 21 hari sebelum masa tenang tanggal 14 april 2019 mendatang, maupun adanya kalangan tertentu yang secara terang benderang atau tersembunyi bermuatan pesan-pesan politik melalui channel media massa.

Dari realitias publik tersebut, diskusi peran media sering muncul pertanyaan bagaimana posisi media dalam peta Pemilu 2019. Bagaimana posisi jurnalis menjalankan tugas profesinya sebagai wartawan independen dan obyektif di tengah lingkungan media yang memiliki afiliasi kepentingan politik? Dapatkah idealisme jurnalis terbebas dari kepentingan-kepentingan politik praktis?

Posisi Media Massa
Sejak dibukanya kran demokrasi melalui momentum reformasi dan dengan lahirnya, Undang-Undang Pers Nomor 40 Tahun 1999, kebebasan pers nyaris tak tebendung. Hal ini diringi menjamurnya berbagai media masaa, mulai cetak dan elektronik. Nyaris tanpa sekat apapun, para jurnalis mampu mengakses dan mengungkap berbagai fakta termasuk sebelumnya dianggap tabu. Tak terkecuali, jurnalis bebas meliput kegiatan peserta pemilu mulai partai politik, calon perseorangan DPD hingga pasangan capres dan cawapres. Namun posisi media harus jelas dalam arus politik pemilu.

Apakah media itu secara terbuka turut menjadi sarana politik praktis karena faktor kedekatan dengan elit partai politik peserta pemilu hingga lingkaran kekuasaan pertarungan capres cawapres. Atau peran media memainkan peran berada di balik layar pagelaran drama politik pemilu. Mungkinkan media bersikap netral atau justru berpihak kepada kelompok tertentu.

Pasal 6 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Asas, Fungsi, Hak, Kewajiban dan Peranan Pers menjelaskan pers mengembangkan pendapat umum berdasarkan informasi yang tepat, akurat, dan benar. Dengan dasar ini, sekedar mengingatkan saja, sesungguhnya media massa tidak boleh bersikap partisan, apalagi hanya mementingkan golongan tertentu. Dengan kata lain, media harus independen meskipun mereka memiliki kedekatan dengan peserta pemilu. Pers harus mampu menjaga independensi dan memberi pencerahan kepada rakyat. Pers milik masyarakat bukan milik kepentingan atau kelompok tertentu.

Oleh karena itu, dibutuhkan prinsip-prinsip dasar yang perlu mendapat perhatian. Pertama, kebebasan dan independensi. Kedua, keterlibatan dan solidaritas. Ketiga, keanekaragaman dan akses. Empat, obyektivitas dan kualitas informasi.

Secara normatif-regulatif prinsip independensi media massa diatur oleh Lembaga Penyiaran dalam hal ini media massa, diatur oleh Komisi Penyiaran Indonesia ( KPI). Sesungguhnya diatur dengan jelas. Pedoman Perilaku Penyiaran (P3) KPI khususnya pasal 2 menyebutkan lembaga penyiaran wajib bersikap adil dan proporsional terhadap para peserta Pemilihan Umum dan/atau Pemilihan Umum Kepala Daerah.

Pada tahapan Pemilu tahun 2019 mulai pemilu DPR, DPD, dan DPRD serta Pemilihan Capres dan Cawapres, independensi media mulai radio, koran, TV, majalah, media online, dan media sosial harusnya dapat dijaga dari pengaruh atau kepentingan-kepentingan politik praktis. Terlebih lagi televisi sebagai media visual dengan jumlah pemirsa tertinggi dapat membawa pengaruh luas di masyarakat. Karena televisi menggunakan ranah publik yakni frekuensi milik negara, sehingga kepentingan individu dan golongan harus dikesampingkan dengan mengutamakan kepentingan rakyat, bangsa, dan negara.

Di ayat 3 disebutkan: Lembaga penyiaran atau media massa tidak boleh bersikap partisan terhadap salah satu peserta Pemilihan Umum. Pada ayat 4 dijelaskan bahwa: Lembaga penyiaran tidak boleh menyiarkan program siaran yang dibiayai atau disponsori oleh peserta Pemilihan Umum dan/atau Pemilihan Umum Kepala Daerah. Sementara itu dalam Kode Etik Jurnalistik (KEJ) terutama pasal 1 dikatakan: Wartawan Indonesia bersikap independen, menghasilkan berita yang akurat, berimbang, dan tidak beritikad buruk.

Dalam 9 Elemen Jurnalisme (Bill Kovach & Tom Rosenstiel: 2006) dijelaskan posisi jurnalis yang tetap harus dijaga diantaranya: Kewajiban utama jurnalisme adalah pencarian kebenaran. Sehingga kontribusi utama jurnalisme kepada masyarakat luas dan mengedepankan displin verifikasi.

Jurnalis menjaga indepedensi dari obyek liputannya, jurnalis harus membuat dirinya sebagai pemantau independen dari kekuasaan. Jurnalis harus memberi forum bagi publik untuk saling kritik dan menemukan kompromi, jurnalis harus berusaha membuat hal yang penting menjadi menarik dan relevan. Jurnalis harus membuat berita yang komprehensif dan proporsional, dan jurnalis harus diperbolehkan untuk mendengarkan hati nurani pribadinya.
Posisi media dan jurnalis tidak partisan dalam konteks kontestasi politik. Jelas sekali, rambu-rambu regulatif-etis sebagai pegangan teguh insan media. Inilah tantangan penyebaran informasi pemilu, yakni bagaimana menjaga independensi, netralitas, proporsionalitas, obyektivitas, dan akurasi informasi politik.

Fungsi Media Sebagai Pengawas (Watchdog) yang Diawasi
Salah satu fungsi penting yang dijalankan oleh pers dalam masyarakat demokratis adalah pers sebagai lembaga yang menjalankan fungsi pengawasan terhadap berbagai lembaga yang memiliki kekuasaan besar dalam masyarakat. Pers atau media massa menjalankan fungsi sebagai anjing penjaga (watchdog) yang melakukan pengawasan terhadap berbagai lembaga sosial, politik, budaya, serta lembaga ekonomis yang jika tidak diawasi dapat menyalahgunakan kekuasaan politik.

Sebagai watchdog, media  berfungsi untuk mengawasi mereka yang memiliki kekuasaan baik dalam bidang politik (pemerintah), organisasi nirlaba maupun dalam sektor swasta. Potensi penyimpangan terhadap undang-undang, seluruh jalannya berbangsa dan bernegara tak terkecuali agenda pemilu Pengawasan terhadap mereka yang memiliki kekuasaan perlu dilakukan agar tidak terjadi penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power).

Dalam kaitan ini, pers dianggap sebagai kekuatan keempat setelah legislatif, eksekutif dan yudikatif, yang dianggap sebagai salah satu kekuatan untuk menjamin adanya check and balances dari berbagai kekuasaan yang ada. Dalam peranan yang demikian ini, pers harus mampu melahirkan laporan-laporan investigatif untuk menampilkan berbagai penyelewengan kekuasaan yang berlangsung dalam berbagai lembaga yang ada. Pers sebagai watchdog  menjadi semakin penting, terutama di negara-negara yang sedang mengalami proses transisi menuju demokrasi, termasuk Indonesia.

Media diharapkan dapat menjadi bagian dari pengawasan terhadap proses demokrasi di Indonesia sehingga mampu mendorong masyarakat untuk melihat sistem politik yang demokratis adalah pilihan yang terbaik. Konsep anjing penjaga ini berakar pada gagasan liberal klasik  tentang hubungan kekuasaan antara pemerintah dan masyarakat dalam sebuah negara demokratis. Lebih jauh gagasan ini muncul berkaitan dengan gagasan tentang the fourth estate yang dikemukakan oleh Endmund Burke yang menenmpatkan pers sebagai kekuatan keempat di samping tiga pilar penting demokrasi yakni legislatif, eksekutif dan yudikatif.

Sebagai kekuatan keempat media atau pers menjalankan peran penyelidikan dan pengawasan terhadap berbagai kekuasaan. Sehingga dalam kontek momentum pemilu, peran media harus mampu menjadi lembaga di luar penyelenggara pemilu yang mampu melakukan fungsi pengawasan. Pengawasan mulai seluruh tahapan pemilu, kinerja penyelenggara pemilu, KPU serta Bawaslu. Peran pengawasan juga dilakukan terhadap peserta pemilu dalam hal ini partai politik dan pasangan capres dan cawapres.

Untuk itu, para pekerja pers dituntut agar dapat melakukan peliputan bukan saja yang berupa peristiwa-peristiwa sesaat dalam berbagai bidang kehidupan yang seringkali hanya menampilkan peristiwa-peristiwa yang bersifat permukaan. Namun lebih pada mengungkap fakta melalui investigasi.

Namun fenomena kecenderungan arah media yang secara implisit hingga eksplisit terlibat dalam politik praktis pemilu menjadi kekhawatiran tersendiri oleh berbagai kalangan. Apalagi image peran media yang berselingkuh terhadap kekuasaan dengan mengambil momentum pemilu untuk kepentingan politik praktis sudah menjadi kesimpulan publik. Ingat meski media seakan memiliki kekuatan super bodi, namun masyarakat juga memiliki kekuatan pangawasan. Puncak pengawasan publik yakni stigma negatif yang akan disematkan terhadap media yang telah mengingkari nafas demokrasi dan reformasi yang melahirkannya. Hingga akhirnya, media tidak akan lagi dipercaya oleh masyarakat dan menganggap berita media tidak lebih dari hoaks. Meski tidak seperti vonis hukuman, namun ini akan lebih dari sekedar pemberedalan yang dilakukan Orde Baru.

Dan sebaliknya, apabila peran media dijalankan secara utuh kepercayaan masyarakat akan sepenuhnya disematkan ke media. Bahkan kepercayaan masyarakat terhadap media akan melebihi amanah yang mereka berikan kepada wakil mereka di Senayan. Layaknya dua mata pisau tersebut, kini para pemegang lembaga penyiaran tinggal memilihnya. Masyarakat hanya mampu bersuara, Ingat peran pengawasan media akan terus diawasi oleh rakyat.

Spirit Demokrasi 
Secara ideal maupun praktis, posisi media pada tahun-tahun politik sejatinya media tidak terjebak pada kepentingan pribadi atau golongan dengan mengutamakan kepentingan masyarakat dan bangsa. Sebagai pilar demokrasi keempat, media dalam momen Pemilu 2019 ini punya andil menjaga spirit demokrasi.

Apa makna media sebagai pilar demokrasi, media berperan sebagai penyeimbang (checks and balances) agar pihak yang berkontestasi dapat on the track. Di sinilah media -meminjam istilah Cater, media sebagai The Fourth Branch of Government— menemukan momentumnya.

Dengan demikian media turut memberi pendidikan politik serta mendewasakan masyarakat ke arah demokrasi subtansial melalui saluran pemilu. Media mendorong praktik demokrasi yang tidak saja prosedural namun juga membangun kesadaran serta partisipasi publik akan arti penting pesta demokrasi. Catatannya, fungsi media sebagai sebagai pengawasan dalam pemilu jangan beranggapan tidak ada yang mengawasi. (*)

Penulis: 

Nur Salam (Anggota KPU Kabupaten Magetan dan mantan jurnalis TV One)

Related posts

Leave a Reply