idealoka.com – Pegiat HAM yang juga dosen Fakultas Hukum Universitas Airlangga (Unair) Herlambang P. Wiratraman memberikan alasan-alasan hukum yang bisa dijadikan dasar bagi Presiden Joko Widodo (Jokowi) membatalkan atau mencabut remisi bagi Nyoman Susrama terpidana pembunuh jurnalis Radar Bali, Anak Agung Gde Bagus Narendra Prabangsa.
Prabangsa dianiaya hingga tewas oleh Susrama dan beberapa anak buahnya akibat pemberitaan korupsi dana pendidikan di Kabupaten Bangli, Bali, yang melibatkan Susrama tahun 2009. Susrama adalah pengusaha dan adik dari mantan Bupati Bangli I Nengah Arnawa. Susrama pernah jadi caleg terpilih PDI Perjuangan dalam Pileg 2009 untuk DPRD Bangli. Pada 7 Desember 2018 Presiden Jokowi memberi remisi berupa keringanan hukuman dari seumur hidup menjadi 20 tahun penjara.
“Pertama dari perspektif korban atau keluarga korban. Keluarga telah menyampaikan keberatan atas remisi. Ini menjadi penanda keadilan korban atau keluarga korban belum dipenuhi, apalagi hingga saat ini Susrama tidak mengakui atau merasa bersalah dalam kasus tersebut,” kata Herlambang, Jum’at, 8 Februari 2019.
Alasan kedua, menurutnya, pembatalan remisi tersebut bisa menjadi salah satu catatan dalam upaya melawan impunitas (kejahatan tanpa hukuman) dan akan menunjukkan komitmen negara dalam penegakan hukum pers.
“Sebab hingga hari ini, selama 20 tahun upaya penegakan hukum atas pasal 18 ayat 1 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers masih belum berjalan baik dan tegas. Terlalu banyak kepentingan politik mempengaruhi penegakan hukum, sehingga tidak sedikit pelaku kekerasan terhadap jurnalis masih bebas dan tak tersentuh hukum,” ujar peraih Anugrah Konstitusi Muhammad Yamin 2018 ini.
Alasan ketiga, menurut Herlambang, bisa dilihat dari aspek kepentingan publik dan pertanggungjawaban penyelenggara kekuasaan. “Maraknya protes baik aksi, pernyataan tertulis, atau surat terbuka atas remisi memperlihatkan ada kepentingan publik yang terganggu di tengah sistem pemberian remisi yang tertutup prosesnya,” ujar Herlambang yang pernah masuk dalam 50 orang pemimpin inspiratif bidang HAM versi Equitas lembaga pendidikan HAM berbasis di Montreal, Kanada.
Ia berpendapat pencabutan remisi sebagai penanda hadirnya negara untuk memberikan keberpihakan hukum pada kepentingan publik lebih luas dan mengoreksi sekaligus memperkuat pertanggungjawaban penyelenggara kekuasaan.
Herlambang berharap Jokowi mempertimbangkan sekaligus meninjau ulang kekeliruan konsep, aturan, dan sistem pemberian remisi dalam Keppres Nomor 174 Tahun 1999 dan Keppres Nomor 29 Tahun 2018.
“Keduanya berpotensi bermasalah dari sudut hukum tata negara dan tidak tepat secara perundang-undangan dan hukum HAM,” kata Dosen Departemen Hukum Tata Negara (HTN) dan Ketua Pusat Studi Hukum HAM Fakultas Hukum Universitas Airlangga ini. (*)