Kasus Penganiayaan Jurnalis di Madura, Saksi Ahli Dewan Pers dan Aktivis AJI Beri Keterangan

Saksi ahli Dewan Pers, Herlambang Wiratraman, diambil sumpahnya dalam sidang kasus penganiayaan mantan jurnalis Radar Madura, Ghinan Salman, di PN Bangkalan, Senin, 18 Februari 2019. (Dok. AJI Surabaya)

idealoka.com – Sidang perkara penganiayaan pada mantan jurnalis Radar Madura (Jawa Pos Group) Ghinan Salman kembali digelar di Pengadilan Negeri (PN) Bangkalan, Senin, 18 Februari 2019. Dalam sidang kali ini majelis hakim memintai keterangan pada dua saksi yang dihadirkan jaksa penuntut umum. Kedua saksi itu antara lain saksi ahli dari Dewan Pers, Herlambang Wiratraman, dan saksi pegiat pers yang juga mantan Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Kota Surabaya, Prasto Wardoyo.

Prasto dimintai keterangan karena AJI Surabaya selama ini terlibat dalam pendampingan Ghinan setelah peristiwa penganiayaan hingga perkara ini sampai ke meja hijau dan Ghinan tercatat sebagai Anggota AJI Surabaya yang wilayah kerjanya juga membawahi Madura.

Kepada Prasto, Hakim Ketua, Sri Hananta, menanyakan keanggotaan Ghinan di AJI Surabaya. “Ghinan adalah anggota AJI Surabaya dan sudah tersertifikasi. Ghinan memiliki kompetensi sebagai jurnalis. Artinya, apa yang dilakukan Ghinan saat meliput, dilindungi UU Pers,” ujar Prasto.

Majelis hakim juga menanyakan apakah perbuatan Ghinan yang memotret aktivitas beberapa pegawai negeri sipil di Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (PUPR) Kabupaten Bangkalan sesuai aturan atau tidak. Menurut Prasto, apa yang dilakukan Ghinan sudah sesuai kaidah dan etika jurnalistik.

“Meskipun pada awalnya Ghinan akan meliput soal dugaan korupsi, namun di saat yang sama ada peristiwa sejumlah aparat sipil negara bermain pingpong (tenis meja) di jam kerja. Ghinan bisa saja mengambil momen itu. Itulah insting seorang jurnalis yang menganggap ada kejanggalan, ada beberapa aparat sipil negara yang bermain pingpong di jam kerja,” katanya.

Pegiat pers yang juga mantan Ketua AJI Surabaya, Prasto Wardoyo, diambil sumpahnya dalam sidang kasus penganiayaan mantan jurnalis Radar Madura di PN Bangkalan, Senin, 18 Februari 2019. (Dok. AJI Surabaya)

Prasto sempat membantah pernyataan hakim yang menganggap kasus ini sebenarnya bisa diselesaikan dengan cara damai atau tak melalui pengadilan. Menurut Prasto, kasus kekerasan terhadap jurnalis adalah bentuk ancaman riil kepada hak publik atas informasi. Ketika kasus kekerasan tidak diselesaikan dengan UU Pers, hal ini akan memicu kekerasan di daerah lain.

Sementara itu, saksi ahli Herlambang Wiratraman, menegaskan apa yang terjadi pada Ghinan adalah penghambatan kerja jurnalis sehingga Ghinan tidak bisa menjalankan fungsinya. “Ghinan mendapatkan petunjuk awal yang seharusnya dikonfirmasikan ke pihak terkait. Namun upaya itu gagal lantaran ada intimidasi dan kekerasan yang dialaminya,” kata Herlambang yang merupakan lulusan Universitas Leiden, Belanda.

Saksi ahli Dewan Pers, Herlambang Wiratraman, memberikan keterangan dalam sidang kasus penganiayaan mantan jurnalis Radar Madura di PN Bangkalan, Senin, 18 Februari 2019. (Dok. AJI Surabaya)

Menurutnya, yang dilakukan terdakwa pelaku penganiayaan pada Ghinan memiliki implikasi hukum yakni melanggar Pasal 18 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Unsur dalam pasal ini adalah menghambat atau menghalangi kegiatan mencari, memperoleh, menyebarluaskan gagasan dan infomasi menjadi terhambat.  Hakim lantas menanyakan di mana letak penghambatannya kalau berita tersebut tetap diterbitkan.

“Konteksnya berbeda. Penghambatan itu terjadi dan unsur pidana persnya terpenuhi. Urusan berita pingpong atau kekerasan yang terbit di kemudian hari, itu hal lain. Yang jelas, Ghinan harus melakukan klarifikasi dan konfirmasi terkait informasi awal yang ia terima. Kalau itu dilakukan, kaidah jurnalistik sudah terpenuhi,” kata pengajar di Fakultas Hukum Universitas Airlangga ini.

Herlambang juga menjelaskan bentuk-bentuk kekerasan terhadap jurnalis berdasarkan pedoman Dewan Pers antara lain kekerasan fisik dan non fisik. Kekerasan fisik meliputi penganiayaan, penyiksaan, penyekapan, penculikan, dan pembunuhan. Dan non fisik meliputi ancaman verbal, merendahkan, dan pelecehan. Selain itu, juga termasuk perusakan alat kerja. “Ada dampak fisik dan psikologis yang dialami Ghinan akibat kekerasan yang dialaminya. Unsur pidana persnya, sekali lagi terpenuhi. Perlu diingat, kerja jurnalis bagian dari menjaga demokrasi kita,” ujarnya.

Jaksa Penuntut Umum, Angga dan Hendrik Murbawan, mengatakan keterangan kedua saksi menguatkan dakwaan terhadap terdakwa Jumali yang merupakan PNS Dinas PUPR Bangkalan.

Sidang kali dipantau langsung utusan Dewan Pers yang mendokumentasikan persidangan. Sidang juga dihadiri perwakilan AJI Surabaya dan Johanes Dipo dari LBH Lentera yang menjadi kuasa hukum Ghinan.

Kasus kekerasan terhadap Ghinan terjadi 20 September 2016 saat ia masih menjadi jurnalis Radar Madura. Ghinan kini menjadi salah satu kontributor di media online nasional. Saat itu, Ghinan mendapati sejumlah aparatur sipil negara di Dinas PUPR Kabupaten Bangkalan bermain tenis meja saat jam kerja dan memotret mereka. Ghinan langsung dikerubuti beberapa orang yang tidak suka dengan upayanya mendokumentasikan aktivitas mereka. Ghinan mendapatkan penganiayaan dan ancaman. Kasus ini akhirnya dilaporkan ke polisi dan sampai ke pengadilan. (*)

Related posts

Leave a Reply