idealoka.com – Pencitraan jadi salah satu cara mendongkrak popularitas atau menarik simpati orang. Pencitraan bisa dilakukan dengan berbagai cara dan perangkat atau alat. Salah satunya dengan iklan di media massa dan papan reklame. Cara ini juga dilakukan partai politik, calon anggota legislatif (caleg), dan calon anggota DPD yang bertarung di Pemilu 2019.
Iklan setidaknya berisi pesan gambar maupun teks atau kata-kata. Tokoh politik kawakan hingga politikus anyar beradu menghadirkan konsep gambar dan teks dalam iklan.
Mereka yang sadar dan paham dengan bahasa pesan tidak akan menampilkan pesan yang monoton misal hanya sekadar slogan atau visi dan misi, selain gambar orang tentunya. Konsep tata letak, artistik (seni), estetika gambar, dan konsep teks akan menentukan seberapa berpotensi iklan tersebut bisa diterima, mengena, atau menyentuh hati calon pemilih.
Jika kita mengamati iklan parpol dan politisi di televisi dan papan reklame, adu cerdas memainkan pesan gambar dan teks itu terjadi, mulai dari “menjual tampang” sampai menjanjikan anggaran.
“Jualan tampang” politisi itu menampilkan wajah mayor berupa kegantengan maupun kecantikan. “Jualan tampang” ini banyak dilakukan diantaranya oleh kalangan artis dan kalangan profesional yang mengadu nasib di jalur politik.
Misalnya yang dilakukan Ketua Umum Partai Solidaritas Indonesia (PSI) Grace Natalie. Wajah oriental putih bersih mantan penyiar berita dan jurnalis televisi ini banyak menghiasi papan reklame mahal di beberapa kota di Indonesia termasuk di Jawa Timur.
Salah satu isu yang diangkat Grace dan PSI adalah anti poligami. Pesan gambar dan teks itu terpampang di papan reklame Grace dan PSI di depan kawasan pertokoan dan perkantoran Pepelegi Indah, Sidoarjo.
PSI juga memainkan pesan teks dan gambar di iklan televisi dengan gaya Grace yang centil untuk menarik kalangan remaja, generasi milenial, atau pemilih pemula. Kemasan iklan PSI di layar televisi juga cukup di luar kebiasaan atau out of the box dengan menghadirkan musik dan lagu dangdut atas isu anti poligami yang diangkat.
Begitu juga yang dilakukan model dan artis Arzeti Bilbina caleg DPR RI dari Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Daerah Pemilihan Jawa Timur I Surabaya dan Sidoarjo. Tak hanya menampilkan “wajah manis” dengan lentik bulu mata, Arzeti juga bersolek dengan gaya pakaian yang modis di iklan reklamenya.
Artis yang sudah dua kali jadi caleg ini mengenakan pakaian casual berhijab warna putih krem lengkap dengan topi melingkar. Reklame besar Arzeti terpampang di samping jalan layang atau flyover dan perlintasan kereta api Jalan Jenggolo, Buduran, Sidoarjo. Gaya modis pakaian yang ditampilkan Arzeti cukup berbeda dibanding caleg artis lain yang masih monoton dengan gaya dan cara berpakaian yang resmi dengan jas parpol.
Selain “menjual tampang”, janji isu anggaran juga jadi iming-iming politisi menggaet hati. Seperti yang dilakukan PKB dan Ketua Umumnya, Muhaimin Iskandar. “PKB Menang, 4 Milyar per Desa”, begitu bunyi pesan dalam gambar reklame dengan logo PKB dan gambar Muhaimin yang berada di pinggir jalan perlintasan kereta api dekat bunderan Aloha, Sidorajo.
PKB membidik potensi pemilih di desa dengan “janji manis” peningkatan anggaran untuk pembangunan desa dari Rp1 milyar menjadi Rp4 milyar. PKB juga memainkan isu anggaran desa itu di iklan televisi.
Pesan gambar dan teks di ajang kontestasi politik apapun sejatinya hanya “pemanis” atau “pewangi” yang bisa datang dan hilang begitu saja. Sebab modal utama dalam politik bukan pencitraan, melainkan komitmen, integritas, kinerja, dan keberpihakan pada yang lemah.
Tanpa citra gambar dan teks, mereka yang memegang modal utama itu akan menuai hasilnya tanpa perlu membangun citra yang bisa menguap sekejap mata. Komitmen, integritas, dan kinerja serta membangun basis massa politik membutuhkan konsep dan proses panjang.
Kebijakan dan perilaku politik yang dijalankan bukan politik untuk kepentingan parpol atau kelompok tertentu, namun lebih luas untuk kepentingan bangsa dan negara. Wadah parpol dan latar belakang politisi hanya identitas semata.
Ketika terpilih dan mengabdi di parlemen nanti, politisi diharapkan tidak jadi makelar pihak-pihak tertentu dalam pembuatan aturan perundang-undangan yang menguntungkan pihak tersebut baik personal maupun korporasi. Apalagi terlibat korupsi dibalik proyek maupun pembuatan undang-undang yang digodok di parlemen. Aturan perundang-undangan yang dibuat harus memperhatikan asas manfaat bagi publik, bukan jadi celah alat untuk korupsi.
Maka, perlu bagi publik untuk mengecek dan memverifikasi rekam jejak dan integritas politisi yang akan dipilih. Waktu tak banyak dan tinggal hitungan hari menjelang pemungutan suara pemilu 17 April 2019.
Jangan terbuai citra teks, gambar, audiovisual, dan mars (lagu) yang ditampilkan parpol maupun politisi di berbagai media cetak, elektronik, dan reklame. Gunakan nalar orang dewasa yang berpikir panjang, bukan nalar anak-anak yang mudah terbuai slogan dan gambar maupun mars-mars heroik partai politik. Selamat berpikir dan memilih !!! (*)