idealoka.com – Majelis hakim Pengadilan Negeri (PN) Bangkalan membebaskan Jumali, terdakwa penganiaya mantan jurnalis Radar Madura, Ghinan Salman, dalam sidang putusan, Senin, 29 April 2019. Atas putusan hakim tersebut, Jaksa Penuntut Umum (JPU) menyatakan kasasi.
“Jika salinan putusan tersebut telah kami terima dari PN, kami segera menyusun dan menyerahkan memori kasasi melalui PN,” kata JPU dari Kejaksaan Negeri Bangkalan, Angga Ferdian, saat dihubungi, Selasa, 30 April 2019.
Majelis hakim yang dipimpin Sri Hananta menyatakan terdakwa tidak terbukti bersalah melakukan tindak pidana penghambatan atau penghalangan kerja pers yang diancam dengan pidana penjara sebagaimana diatur dalam pasal 18 ayat 1 juncto pasal 4 ayat 2 dan 3 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.
Ghinan dikeroyok dan dipukul serta diintimidasi oleh sekitar sepuluh Aparatur Sipil Negara (ASN) Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (PUPR) Kabupaten Bangkalan usai mengambil foto beberapa ASN yang sedang bermain tenis meja saat jam kerja di kantor dinas setempat, 20 September 2016 silam.
Sejak 16 Februari 2015 Ghinan jadi jurnalis Radar Madura yang bertugas di Bangkalan dan sejak 27 Juni 2018 berhenti dari Radar Madura dan menjadi jurnalis kompas.com di Surabaya. Saat mengalami penganiayaan, Ghinan masih bertugas sebagai jurnalis Radar Madura.
Saat itu, Ghinan sedang menunggu Kepala Dinas PUPR Bangkalan yang saat itu dijabat Taufan Zairinsyah untuk wawancara terkait korupsi proyek jalan yang disidik kejaksaan. Sembari menunggu kepala dinas setempat yang sedang di luar kantor, Ghinan mendengar bunyi bola tenis meja yang memantul. Insting jurnalisnya jalan dan ia melihat salah satu ruangan dan memotret beberapa ASN bermain tenis meja saat jam kerja. Namun nahas, dua menit kemudian aksi Ghinan diketahui para ASN dan ia dikeroyok.
“Seingat saya ada sekitar sepuluh orang yang mengeroyok. Leher saya dicekik, rambut dijambak (ditarik) dan kepala bagian atas dan belakang dipukul,” kata Ghinan. Para PNS tersebut juga menuduh Ghinan wartawan gadungan dan meminta foto hasil jepretannya dihapus. “Sebelum saya dikeroyok, foto-foto sudah saya kirim ke redaksi lewat email,” katanya. Ia pun menolak foto-foto hasil jepretennya dihapus meski sudah dikirim ke redaksi.
Atas pertimbangan rekan kerja dan redaksi di tempat kerjanya serta didampingi Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Surabaya, Ghinan melaporkan kejadian itu ke Kepolisian Resor Bangkalan. “Kami juga menyertakan bukti visum et repertum karena ada kulit di leher saya yang robek (luka),” kata Ghinan yang juga tercatat sebagai Anggota AJI Surabaya. AJI Surabaya membawahi sejumlah daerah di sekitar Surabaya termasuk Madura.
Ghinan pun menyodorkan sepuluh nama orang yang diduga ikut menganiayanya waktu itu ke penyidik kepolisian. Namun setelah dilakukan penyelidikan hingga penyidikan, polisi hanya menetapkan satu tersangka yakni Jumali.
Jumali jadi terdakwa tunggal di pengadilan dan jaksa menuntutnya dengan hukuman pidana penjara sepuluh bulan. Namun hakim tidak mengabulkan tuntutan jaksa dan memvonis bebas terdakwa. “Putusan hakim di luar dugaan saya. Padahal JPU hanya menuntut terdakwa 10 bulan. Mendengar putusan hakim tentu menyedihkan,” kata Ghinan.
Dalam persidangan, jaksa telah menghadirkan sejumlah saksi dan ahli diantaranya rekan kerja Ghinan, aktivis AJI, dan ahli yang ditunjuk Dewan Pers. Namun hakim mementahkan argumen para saksi dan ahli serta menganggap kasus yang menimpa Ghinan sepele dan bisa diselesaikan secara kekeluargaan.
Selain AJI Surabaya, selama persidangan, Ghinan didampingi tim kuasa hukum dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Lentera Surabaya. “Kami akan mengawal proses kasasi yang akan diajukan JPU dan kami akan menyusun amicus curiae,” kata anggota tim kuasa hukum dari LBH Lentera, Yonahes Dipa Widjaja. Amicus curiae artinya sahabat pengadilan atau pihak yang merasa berkepentingan terhadap suatu perkara dan akan memberikan pendapat hukumnya kepada pengadilan.
Ketua AJI Surabaya Miftah Faridl menyayangkan putusan hakim dalam kasus penganiayaan yang menimpa Ghinan saat menjalankan tugas sebagai jurnalis yang dilindungi undang-undang. “Putusan bebas murni terhadap pelaku kekerasan dan penghalang-halangan kerja jurnalis tentu akan menjadi preseden buruk bagi perjuangan penegakan supremasi kebebasan pers di tanah air,” katanya. (*)