idealoka.com – Tak peduli pagi hingga malam, cerah atau hujan, ia harus tetap di jalan. Mencari potret ketidakadilan di masyarakat hingga membela yang lemah. Mengungkap konspirasi antar pejabat hingga pengusaha.
Hari itu ia datang ke sebuah instansi pemerintahan, untuk wawancara, sebagai bagian dari verifikasi, salah satu cara untuk memperkuat karya tulisnya. Ia tahu ada dugaan korupsi sebuah proyek jalan dan sedang disidik Korps Adhyaksa.
Ia pun datang ke instansi pemerintahan yang mengelola proyek jalan, berusaha menemui sang atasan. Sang pejabat tak ada di tempat. Ia pun duduk santai menghela nafas sambil memantau informasi di gawainya.
Tik tok tik tok, suara itu terdengar berkali-kali dari sebuah ruangan. Seperti suara bola pingpong atau tenis meja. Ia mencari tahu dari mana asalnya. Ia pun melihat sekelompok orang berbaju dinas sedang main pingpong. Saat itu masih jam kerja.
Ia pun mengabadikannya karena janggal menurutnya. “Main pingpong khan bisa kapan saja, ada waktunya,” begitu pikirnya.
Puas mengambil gambar yang janggal, ia pun kembali duduk santai sambil mengirimkan foto momen tak bisa itu ke tempat kerjanya. Tak berselang lama, segerombol orang mendatanginya. Caci maki dan tuduhan keluar dari mulut mereka. “Kamu wartawan gadungan ya, darimana kamu?,” seloroh salah satu pengeroyok.
Bogem mentah bertubi-tubi di arahkan ke kepalanya. Cekikan tangan juga mencengkeram lehernya. Ia pun melindungi wajah dengan kedua tangannya. Namun akhirnya kericuhan mereda.
Itulah cerita singkat tentang apa yang dialami Ghinan Salman saat bertugas jadi jurnalis Radar Madura, 20 September 2016 silam. Sejak Juni 2018, Ghinan berhenti dari Radar Madura dan bergabung menjadi kontributor kompas.com sampai sekarang.
Saat itu Ghinan akan menemui Kepala Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (PUPR) Kabupaten Bangkalan untuk mengkonfirmasi dugaan korupsi proyek jalan yang sedang disidik kejaksaan.
Namun ia mendengar suara para pegawai dinas bermain tenis meja saat jam kerja dan ia pun memotretnya. Karena tahu diambil fotonya, para pegawai tersebut mengeroyok Ghinan.
“Setahu saya ada sekitar 10 orang. Kepala saya bagian atas dan belakang dipukul berkali-kali dan leher dicekik,” kata Ghinan. Ia pun menolak foto-fotonya dihapus. Untung juga foto-foto itu sudah dikirim ke redaksinya.
Ghinan pun melaporkan penganiayaan dan penghalangan kerja jurnalis itu ke Kepolisian Resor Bangkalan. Namun sayang, dari 10 orang yang namanya diduga ikut menghajar Ghinan, hanya satu orang yang dijadikan tersangka oleh polisi. Orang yang mencekiknya, Jumali, jadi terdakwa tunggal dan duduk di kursi pesakitan.
Namun sayang, meski jaksa penuntut umum sudah menghadirkan beberapa saksi untuk memperkuat dakwaan, hakim tak mengabulkan dakwaan. Dua tahun lebih perkara ini berjalan dan Senin, 29 April 2019, majelis hakim Pengadilan Negeri (PN) Bangkalan yang dipimpin Sri Hananta mengetuk palu putusan. Hakim membebaskan Jumali karena dianggap tidak ada luka serius yang dialami Ghinan. Hakim juga menganggap masalah yang dialami Ghinan sepele dan bisa diselesaikan di luar hukum.
Putusan hakim ini menuai protes kalangan jurnalis dan kuasa hukum yang mendampingi Ghinan selama persidangan. Ghinan pun kecewa. “Sedih mendengar putusan hakim,” kata Ghinan yang juga Anggota Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Surabaya.
Jaksa langsung menyatakan kasasi ke Mahkamah Agung (MA). “Jika salinan putusan tersebut telah kami terima dari PN, kami segera menyusun dan menyerahkan memori kasasi melalui PN,” kata jaksa penuntut umum (JPU) dari Kejaksaan Negeri Bangkalan, Angga Ferdian, Selasa, 30 April 2019.
Selain AJI Surabaya, selama persidangan, Ghinan didampingi tim kuasa hukum dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Lentera Surabaya. “Kami akan mengawal proses kasasi yang akan diajukan jaksa dan kami akan menyusun amicus curiae,” kata anggota tim kuasa hukum dari LBH Lentera, Yonahes Dipa Widjaja. Amicus curiae artinya sahabat pengadilan atau pihak yang merasa berkepentingan terhadap suatu perkara dan akan memberikan pendapat hukumnya kepada pengadilan.
Ketua AJI Surabaya Miftah Faridl menyayangkan putusan hakim. “Putusan bebas murni terhadap pelaku kekerasan dan penghalang-halangan kerja jurnalis tentu akan menjadi preseden buruk bagi perjuangan penegakan supremasi kebebasan pers di tanah air,” katanya.
Putusan hakim memang di luar dugaan. Apalagi tuntutan jaksa cukup ringan yakni 10 bulan penjara dari ancaman penjara maksimal 2 tahun pada terdakwa yang menghalangi kerja pers sebagaimana diatur dalam pasal 18 ayat 1 jucto pasal 4 ayat 2 dan 3 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.
“Putusan itu mengusik rasa keadilan publik sekaligus memperkuat mata rantai impunitas (kejahatan tanpa pengadilan) di negeri ini. Putusan itu sangat berpotensi jadi pijakan impunitas di kasus-kasus kekerasan berikutnya,” kata Ketua Pusat Studi Hukum HAM dan dosen Fakultas Hukum Universitas Airlangga Herlambang P. Wiratraman. Herlambang merupakan saksi ahli yang ditunjuk Dewan Pers untuk memberikan pendapat di PN Bangkalan dalam kasus penganiayaan yang dialami Ghinan.
Ghinan hanya satu dari sekian banyak jurnalis yang mengalami kekerasan baik fisik dan psikis dalam menjalankan tugasnya. Jurnalis harus berserikat untuk melawan berbagai jenis ancaman penghambatan kerja pers.
Namun jurnalis harus tetap profesional mematuhi kode etik dan tidak melakukan perbuatan melawan hukum dengan memanfaatkan posisi strategis jurnalis atau wartawan misalnya melakukan pemerasan pada narasumber dan terlibat suap. (*)