IDEALOKA.COM – Nasionalisme terlahir di Nusantara di tengah gempuran penjajahan 350 tahun oleh Belanda dan pada akhirnya ditambahkan oleh penjajahan Jepang tiga setengah tahun. Penderitaan panjang pada segala aspek kehidupan tersebut pada akhirnya memantik semangat kebangkitan nasional (1908) seiring dengan meningkatnya semangat bangsa-bangsa terjajah lainnya dalam meraih kemerdekaan, antara lain dari Filipina dan India. Semangat kebangkitan tersebut dua puluh tahun kemudian dikuatkan secara seremonial melalui sumpah pemuda, pengakuan akan satu bangsa, satu bahasa dan satu tanah air Indonesia.
Berdasarkan sejarah tersebut di atas terlihat bahwasannya sejarah terbentuknya nasionalisme di Indonesia disebabkan adanya perasaan senasib sepenanggungan yang merupakan suatu reaksi subyektif, dan kemudian kondisi obyektif secara geografis menemukan koneksitasnya (Rachmat, 1996). Perbedaan kausal jelas terlihat antara nasionalisme di Indonesia dengan nasionalisme di Eropa, yaitu bila nasionalisme di Indonesia muncul sebagai reaksi terhadap penjajahan kolonial, tetapi di Eropa, nasionalisme lahir akibat adanya pergeseran dari masyarakat agraris menuju masyarakat industri sebagai dampak dari revolusi industri.
Kosterman dan Feshbach (1989) menjelaskan bahwasannya nasionalisme dikaitkan dengan perasaan memiliki terhadap Indonesia, mengidentifikasi diri menjadi bagian dari Indonesia. Dalam makna lebih sempit nasionalisme disebut sebagai paham kebangsaan yang berlebihan dengan memandang bangsa sendiri lebih tinggi (unggul) dari bangsa lain. Sementara itu, secara lebih luas Druckman (1994) mengemukakan bahwa nasionalisme mengarah pada kesetiaan tertinggi individu terhadap bangsa dan tanah airnya dengan memandang bangsanya itu merupakan bagian dari bangsa lain di dunia. Dalam istilah psikologi sosial, hal ini dinamakan dengan group loyalty. Presiden Soekarno menggambarkan nasionalisme harus didasarkan pada perspektif “kenasionalan” bukan di atas dasar agama, suku, aliran, atau kelompok tertentu.
Api nasionalisme dalam perjalanan bangsa Indonesia terbukti mampu menyulut generasi muda melahirkan tragedi Rengas Dengklok yang pada akhirnya menjadi titik awal perjalanan legal bangsa Indonesia melalui proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945. Api nasionalisme yang termaktub dalam resolusi jihad NU terus menyala, ketika para santri, kiai dan arek-arek Surabaya mampu mengubur dua jenderal besar Sekutu yang diboncengi Belanda dengan pertempuran surabaya hingga kita kenang sekarang dengan peringatan Hari Santri Nasional (22 Oktober) dan peringatan Hari Pahlawan (10 November). Pada perjalanan berikutnya, sejarah mencatat bagaimana gelora nasionalisme mampu membendung sekian ancaman disintegrasi bangsa mulai tahun 1948 hingga puncaknya tahun 1965.
Menarik sekali bagaimana mengaitkan nasionalisme dengan gelaran piala AFF 2020 yang sarat dengan kristalisasi keringat sebagai bentuk perjuangan hidup dan mati para garuda muda. Keberadaan pasukan Garuda muda yang sakti mandraguna itu adalah perwakilan jutaan penduduk Indonesia yang wilayahnya terbentang luas dari Sabang hinga Merauke, dan sejatinya itu adalah bentuk nasionalisme sesungguhnya. Ricky Richardo Kambuaya, Ramai Melvin Rumakiek, dan Marckho Sandi Merauje faktanya adalah mutiara Papua sang pendobrak lini depan garuda yang luar biasa. I Kadek Agung Widnyana Putra merupakan gelandang asli Bali, Irfan Samaling Kumi adalah striker hebat dari Bantaeng-Sulawesi Selatan, Witan sulaeman dari Palu, Egy Maulana Vikri dari Medan, Yabes Roni Malaifani dari Alor-Nusa Tenggara Timur adalah bertemunya keragaman Indonesia dalam pusaran nasionalisme.
Founding Fathers bangsa ini dulu menjadikan sepak bola sebagi cabang olah raga pemersatu sekaligus perekat nasioalisme memang tak terbantahkan. Meski pada perjalanannya seiring kuatnya virus industri sepak bola, nasionalisme yang pada awalnya virus itu hadir akan terdegradasi namun pada akhirnya tidak terjadi. Tidak heran pula, tatkala karena nasionalismenya seorang anak muda keturunan Inggris dan ibu Indonesia dan lahir di Thailand, Elkan William Tio Baggott menjadi benteng tangguh menjulang tinggi bagi timnas Indonesia. Sementara itu, jiwa nasionalisme Ezra Harm Ruud Walian yang lahir di Amsterdam-Belanda dengan darah Indonesia dari ayahnya untuk menjadi penyerang andalan garuda juga telah membuktikan cintanya pada Indonesia.
Tingginya antusiasme masyarakat pada gelaran piala AFF sinergis dengan perjuanga tidak kenal lelah dan pantang menyerah dari punggawa garuda di lapangan hijau menjadi momentum yang sangat tepat untuk menaikkan derajat nasionalisme masyarakat Indonesia. “Indonesia sudah juara piala AFF 2020 karena sudah menang telak mengganyang Malaysia” merupakan ucapan yang menarik pada konteks nasionalisme. Tentu saja itu adalah wujud nasionalisme luar biasa yang begitu menyala-nyala di bawah bayang-bayang sejarah kebijakan Presiden Soekarno yang pada saat itu ingin mengganyang Malaysia. Tak ayal, pada setiap gelaran olah raga apapun dengan cakupan Asia Tenggara, maka sejatinya jika Indonesia bertemu Malaysia meski di awal babak (penyisihan), maka jika kemenangan didapatkan adalah sama dengan meraih gelar juara.
Fenomena tersebut di atas tentunya seperti apa yang disampaikan oleh Benedict Anderson dalam imagined communities menjelaskan bahwasannya Komunitas terbayang adalah konsep yang berbeda dengan komunitas. Komunitas terbayang tidak didasarkan pada interaksi sehari-hari antar anggotanya. Komunitas terbayang adalah konsep yang dicetuskan Benedict Anderson untuk memahami nasionalisme. Anderson percaya bahwa sebuah bangsa adalah komunitas yang dikonstruksi secara sosial, dibayangkan oleh orang-orang yang memandang dirinya sebagai bagian dari kelompok tersebut. Artinya, media yang telah menyajikan pertandingan AFF 2020 tersebut sesungguhnya menjadi penghantar yang dahsyat dari munculnya berbagai ekspresi jiwa nasionalisme.
Harus diakui bahwasannya sekian ragam ekspresi masyarakat akan penyelamatan heroik Nadeo Arga Winata hingga empat gol penentu kemenangan untuk memastikan Indonesia lolos ke final piala AFF merupakan wujud nyata nasionalisme yang begitu menyala pada jiwa raga masyarakat Indonesia. Terlihat banyak sekali wujud nasionalisme mulai dari sujud syukur para pemain, doa spesial dari lintas agama, umpatan-umpatan kekecewaan pada wasit yang dianggap tidak meguntungkan, luapan kegembiraan yang beraeka ragam pada setiap gol tercipta, dan bahkan para dukun nusantara yang ikut berusaha menghalang setiap serangan lawan adalah wujud nyata nasionalisme.
Garuda Indonesia telah memberikan teladan dan pelajaran bermakna kepada kita semua tentang bagaimana pentingnya kekuatan nasionalisme dalam jiwa raga untuk bersatu padu mengukir prestasi demi tetap tegaknya eksistensi bangsa indonesia. Maka dari itu, sebagai warga masyarakat yang baik tentunya harus terus menjaga semangat nasionalisme dengan langkah nyata sebisa kita. Akhirnya, bisa dibayangkan jika setiap manusia Indonesia berkomitmen menjunjung tinggi nasionalisme, maka Indonesia adil makmur dan sejahtera tanpa adanya celah pengkhianatan kepada bangsa dan negara akan terjadi.
Penulis: Daris Wibisono Setiawan (Kepala SMA Negeri 1 Sumber, Kabupaten Probolinggo)