Akademisi HAM Kritik Keterlibatan TNI di Birokrasi dan Ranah Sipil

Foto: tribunnews.com

idealoka.com – Serikat Pengajar Hak Asasi Manusia (Sepaham) Indonesia dan beberapa Pusat Studi Hak Asasi Manusia (Pusham) di Indonesia mengkritik peran dan kewenangan TNI yang berlebihan pada ranah sipil termasuk jabatan dan birokrasi sipil.

“Kami menolak penempatan prajurit TNI aktif pada jabatan sipil yang di luar mandat sebagaimana diatur dalam Pasal 47 Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional,” kata pengurus Sepaham yang juga Direktur Pusat Studi Hukum HAM Fakultas Hukum Universitas Airlangga Herlambang P. Wiratraman melalui siaran tertulis di Surabaya, Senin, 25 Februari 2019.

Sejumlah Pusham yang mendukung pernyataan ini antara lain Pusat Studi HAM dan Migrasi Universitas Jember, Pusham Universitas Surabaya, Pusat Studi HAM Fakultas Hukum Universitas Airlangga, Pusham Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta, Pusat Studi Anti Korupsi dan Demokrasi (PUSAD) Universitas Muhammadiyah Surabaya, Pusham Universitas Negeri Medan, Pusat Studi Konstitusi (Pusako) Fakultas Hukum Universitas Andalas Padang, Pusat Pengkajian HAM dan Demokrasi (PPHD) Fakultas Hukum Universitas Brawijaya Malang, dan Pusat Kajian Metajuridika (Taman Metajuridika) Fakultas Hukum Universitas Mataram Lombok.

Mereka mendorong komitmen penuntasan agenda reformasi TNI untuk menuju TNI yang professional, mengacu pada nilai dan prinsip demokrasi, supremasi sipil, HAM, dan prinsip negara hukum yang demokratis.

“Revisi UU TNI belum perlu dilakukan saat ini karena belum ada alasan mendasar untuk perubahan,” kata Herlambang.

Sepaham melihat banyak kebijakan TNI yang harus ditinjau ulang keberlakuannya seperti penempatan prajurit TNI aktif pada jabatan sipil, banyaknya nota kesepahaman atau Memorandum of Understanding (MoU) TNI dengan berbagai kementerian dan lembaga Negara, penguatan komando territorial, dan Kecenderungan penguatan peran TNI di ranah sipil terkait keamanan dalam negeri.

“Reformasi TNI belum selesai alias belum tuntas. Sekalipun dimandatkan oleh Undang-Undang TNI, penghapusan bisnis militer tidak berjalan mudah dan bahkan tetap bertahan,” kata Herlambang.

Sepaham juga melihat masih banyak kasus agraria yang melibatkan TNI dan masyarakat. Tak hanya di bidang agraria, peran TNI di ranah sipil juga masuk dalam dunia pendidikan seperti program satu sekolah satu TNI yang digagas Pemkab Jember.

Sepaham juga menggugat tindakan aparat TNI yang dianggap melebihi kewenangannya atas dalih keamanan negara. “Misalnya sweeping ‘buku-buku kiri’ atau pembubaran diskusi di beberapa kota baik di kampus maupun luar kampus,” kata Herlambang.

Aksi kekerasan yang dilakukan aparat TNI pada elemen masyarakat termasuk awak media juga jadi sorotan. “Seperti yang menimpa jurnalis Net TV di Madiun tahun 2016,” katanya.

Sepaham meminta pemerintah berkomitmen memenuhi lima agenda Reformasi 1998 di tubuh TNI antara lain mencabut Dwi Fungsi ABRI, restrukturisasi komando territorial, reformasi peradilan militer, menghapus bisnis TNI, dan pofesionalisme militer (fungsi pertahanan).

“Sudah ada upaya mendorong reformasi TNI tersebut melalui perubahan UU TNI karena memang reformasi bagian tidak terpisahkan dalam upaya menegakkan negara hukum Indonesia dan demokrasi yang dicita-citakan dalam gerakan 1998,” kata Herlambang.

Langkah-langkah tersebut, menurutnya, bertujuan menjadikan TNI sebagai alat pertahanan NKRI, bertugas melaksanakan kebijakan pertahanan negara untuk menegakkan kedaulatan negara, mempertahankan keutuhan wilayah, melindungi keselamatan bangsa, menjalankan operasi militer untuk perang dan operasi militer selain perang, serta ikut aktif dalam tugas pemeliharaan perdamaian regional dan internasional. (*)

Related posts

Leave a Reply