Yang Lain Sibuk Beri ‘Parsel’ Lebaran, Yang Ini Imbau Jangan

Foto: tribunnews.com

idealoka.com – Sudah mafhum dan lazim, antar orang, lembaga, perusahaan, instansi pemerintah, dan sebagainya saling tukar parsel atau bingkisan menjelang Lebaran atau Hari Raya Idul Fitri. Itu bagian dari cara menjaga pertemanan dan silaturahim, kata mereka.

Namun yang satu ini punya pandangan lain mengenai profesi wartawan atau jurnalis dengan pemberian uang atau barang dari orang atau lembaga, termasuk dalam konteks parsel Lebaran baik berupa uang atau barang.

Aliansi Jurnalis Independen (AJI) mengimbau wartawan tak berharap atau berburu parsel lebaran dari siapapun. Sebaliknya, orang atau lembaga tak perlu memberi parsel lebaran ke kalangan wartawan.

Tulisan dibawah ini adalah landasan hukum dan etik mengapa AJI memandang berbeda dalam memperlakukan wartawan dan parsel lebaran yang dikategorikan bagian dari suap meski dalam konteks menjaga pertemanan atau silaturahim:

AJI Jember meminta kepada seluruh narasumber untuk berhenti memberi uang atau barang kepada wartawan atau jurnalis setiap momen sebelum Lebaran atau Hari Raya Idul Fitri. Ketua AJI Jember Friska Kalia mengatakan tradisi pemberian uang atau barang dari orang atau lembaga pada wartawan itu selain melanggar aturan Dewan Pers dan berpotensi mempengaruhi independensi jurnalis.

Menurut Friska, pemberian uang atau barang pada jurnalis bukan menjadi kewajiban pejabat publik atau narasumber melainkan kewajiban perusahan media tempat wartawan bekerja. Ini sesuai Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 6 Tahun 2016 tentang Tunjangan Hari Raya (THR) Keagamaan bagi Pekerja/Buruh di Perusahaan.

Tradisi pemberian THR dengan alasan apapun kepada jurnalis tetap tak bisa dibenarkan. Dasar hukumnya adalah pasal 7 ayat 2 Undang-Undang Pers Nomor 40 Tahun 1999 yang berbunyi wartawan Indonesia mentaati kode etik jurnalistik yang artinya wartawan tidak boleh menyalahgunakan profesi dan menerima suap.

“Suap yang dimaksud adalah segala bentuk pemberian baik uang, barang, dan fasilitas yang bisa mempengaruhi independensi jurnalis. Jadi THR itu bukan kewajiban narasumber dengan dalih apapun,” katanya melalui rilis yang diterima, 3 Juni 2018.

Larangan pemberian THR kepada jurnalis juga sudah ditegaskan Dewan Pers melalui surat edaran Nomor 264/DP-K/V/2018 tentang larangan pemberian THR kepada jurnalis, organisasi pers, perusahaan media ataupun jurnalis itu sendiri. Dalam surat edaran tersebut Dewan Pers meminta kepada seluruh elemen untuk menolak jika ada jurnalis yang datang meminta THR atau bingkisan hari raya. Ini dilakukan untuk tetap menjaga moral dan etika profesi dalam menjaga kepercayaan publik dan menjunjung tinggi profesionalisme jurnalis.

AJI Jember juga akan mengirimkan surat edaran kepada instansi pemerintah di Kabupaten Jember, Bondowoso, dan Banyuwangi terkait adanya larangan pemberian THR ini. “Jika masih ada instansi pemerintah yang memberikan THR kepada jurnalis, AJI Jember akan meminta penjelasan tentang sumber dana THR tersebut untuk menghindari penyalahgunaan dana APBD atau APBN,” kata Sekretaris AJI Jember Mahrus Sholih.

Perusahaan Media Wajib Beri THR Wartawan

AJI Jember mengingatkan pengusaha media untuk membayar THR kepada jurnalis paling lambat tujuh hari sebelum hari raya keagamaan. Menurut Mahrus, jika merujuk pada aturan tersebut tidak ada alasan bagi perusahaan media mengabaikan THR untuk jurnalis apapun statusnya baik karyawan tetap ataupun kontributor, koresponden, atau yang sudah bekerja minimal satu bulan.

Pada pasal 2 ayat 2 Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 6 Tahun 2016 juga disebutkan THR keagamaan sebagaimana dimaksud ayat 1 diberikan kepada pekerja atau buruh yang mempunyai hubungan kerja dengan pengusaha berdasarkan perjanjian kerja waktu tidak tertentu atau perjanjian kerja waktu tertentu.

“Apapun statusnya, kontributor, karyawan tetap, atau kontrak, semua jurnalis berhak mendapatkan THR dari perusahan tempat mereka bekerja,” kata Sekretaris AJI Jember Mahrus Sholih.

AJI Jember mengingatkan kepada seluruh wartawan atau jurnalis untuk melapor jika tak menerima THR dari perusahaan tempat mereka bekerja. Menurut Peraturan Menteri Tenaga Kerja, ada denda dan sanksi adminsitratif bagi perusahaan yang tidak membayar maupun yang terlambat membayarkan THR. (*)

Related posts

Leave a Reply