idealoka.com – Heri Budiawan alias Budi Pego adalah salah satu warga penolak tambang emas di Hutan Lindung Gunung Tumpang Pitu, Desa Sumberagung, Kecamatan Pesanggaran, Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur. Hakim memutuskan Budi terbukti menyebarkan ajaran komunisme atau Marxisme–Leninisme sebagaimana didakwakan Pasal 107a KUHP.
Budi dipidana karena dianggap terlibat dalam demo penolakan tambang emas dimana muncul spanduk demo dengan gambar ‘palu arit’ yang diidentikkan dengan komunisme atau PKI saat demo 4 April 2017. Budi tetap dipidana meski tak jelas siapa yang mencantumkan lambang ‘palu arit’ tersebut dan kasus ini masih kontroversi meski sudah ada putusan hukum tetap.
“Menyimak putusan Pengadilan Negeri Banyuwangi Nomor 559/Pid.B/2017/PN.Byw juncto putusan Pengadilan Tinggi Surabaya Nomor 174/PID/2018/PTSBY menjelaskan bahwa putusan atau perkara ini cenderung dipaksakan,” kata Herlambang Perdana Wiratraman sebagai Ketua Pusat Studi Hukum HAM Fakultas Hukum Universitas Airlangga dan Pengurus Serikat Pengajar HAM (SEPAHAM) Indonesia dalam rilis di kantor Komnas HAM, Jakarta, Jum’at, 14 Desember 2018.
Rilis tersebut dihadiri Budi Pego, Herlambang, Komisioner Komnas HAM Sandra Moniaga, dan pengurus SEPAHAM seperti Suraya Afif dari Universitas Indonesia (UI) dan Wahyu Nugroho dari Fakultas Hukum Universitas Sahid Jakarta.
Menurut Herlambang, putusan hakim yang hanya mengabulkan tuntutan jaksa penuntut umum dari tujuh tahun penjara menjadi 10 bulan penjara memperlihatkan putusan yang tidak cukup meyakinkan. Sementara putusan MA yang hingga kini belum didapat salinan putusannya itu justru menghukum lebih tinggi jadi empat tahun penjara dan Budi Pego menghadapi eksekusi atas putusan tersebut.
Dalam kasus Budi Pego ini, SEPAHAM berpendapat bahwa pertama, kasus ini merupakan refleksi konservatisme sekaligus lemahnya imajinasi keadilan sehingga hakim justru mengambil putusan yang bertentangan dengan keadilan. Dalam buku Judge against Justice, Lee Epstein et all (2012) menyatakan ada hubungan antara ideologi dan perilaku hakim dimana psikologi untuk berada dalam ‘zona nyaman’ dan aman dengan putusan yang cenderung normativisme, justru berperan melemahkan imajinasi.
Kedua, Kasus ini merefleksikan bagaimana dunia peradilan semakin jauh dari rasa keadilan publik. “Pencari keadilan yang berusaha mempertahankan ruang hidup dan kehidupannya dari pihak lain (perusahaan tambang emas), justru dihukum dengan cara menyesatkan publik yaitu memindahkan fokus dari kasus agraria (sumberdaya alam) yang dieskploitasi eksesif menjadi kasus politik dengan narasi komunisme,” kata Herlambang yang juga peraih Anugrah Konstitusi Muhammad Yamin 2018. Sementara upaya Budi Pego mempertahankan tanah dan ruang hidupnya termasuk kehidupan warga kampungnya justru diabaikan hakim.
Ketiga, putusan peradilan sama sekali tak memperhitungkan konteks kasus. “Pasal 66 UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup seharusnya bisa digunakan untuk melindungi Budi Pego,” katanya.
Keempat, memenjarakan Budi Pego, menurutnya, jadi ancaman serius bagi upaya perjuangan hak asasi manusia yang sekaligus melemahkan elemen negara hukum Indonesia sebagai mandat pasal 1 ayat 3 UUD 1945. “Putusan tersebut menjustifikasi hukum dan mekanisme hukum sebagai penindasan dengan menggunakan instrumentasi demokrasi yakni kekuasaan kehakiman,” katanya.
Kelima, SEPAHAM berpandangan bahwa menegakkan kekuasaan kehakiman tidak cukup soal pasal-pasal, prosedur formal dan wewenang yang dijaminkan, melainkan pula tantangan menciptakan akses keadilan substantif yang ukurannya bukan penegakan aturan, melainkan penegakan hukum yang lebih efektif dan berkeadilan sosial, sekaligus melipatgandakan integritas dan keteladanan.
“Kasus Budi Pego merupakan kemunduran yang menciderai dua hal sekaligus, keadilan bagi warga bangsa yang memperjuangkan hak konstitusinya, sekaligus integritas kekuasaan kehakiman,” ucap Herlambang yang pernah masuk dalam 50 orang pemimpin inspiratif bidang HAM versi Equitas lembaga pendidikan HAM berbasis di Montreal, Kanada.
SEPAHAM mendesak para pemangku kepentingan saling mendukung untuk melepaskan Budi Pego dari jeratan hukum, memulihkan nama baiknya, dan mengembalikan ruang hidupnya. (*)