Mobile Cafe di Banyuwangi Terapkan Ngopi Bayar dengan Sampah

Mobile Cafe milik Novian saat ditampilkan dalam kuliah sociopreneur mahasiswa Program Studi di Luar Kampus Utama (PSDKU) Unair di Banyuwangi, 27 Februari 2020. Foto: jatimnet.com

idealoka.com (Banyuwangi) – Motor roda tiga berwarna kuning terparkir di halaman belakang SD Negeri Model, Kelurahan Sobo, Kecamatan/Kabupaten Banyuwangi. Bagian belakang sekolah dasar itu sejak tahun 2017 menjadi kampus kedua Program Studi di Luar Kampus Utama (PSDKU) Universitas Airlangga (Unair) di Banyuwangi.

Bak belakang motor disulap menjadi bak kafe kopi kekinian. Di sampingnya berjajar bangku-bangku kayu dan meja saji serta rak toples kaca berisi roasted bean kopi beragam jenis.

Read More
Mahasiswa Program Studi di Luar Kampus Utama (PSDKU) Unair di Banyuwangi mencoba kopi di Mobile Cafe. Foto: jatimnet.com

Usaha yang diberi nama Mobile Cafe (Moca) atau kafe bergerak ini milik Novian Dharma Putra, 32 tahun. Novian tampak menuangkan air bersuhu 90 derajat celsius ke dalam cangkir gelas. Kemudian diaduknya bersama bubuk kopi Arabika Ijen, tanpa campuran gula, dan disuguhkan ke pembeli.

Sebagian pembeli duduk di bangku-bangku kayu, lainnya berdiri mengelilingi Novian yang menyeduh kopi sambil mempresentasikan bisnis kafenya. Mereka adalah mahasiswa PSDKU Unair Banyuwangi yang mengikuti mata kuliah kewirausahaan materi sociopreneur.

Usaha mobile cafe milik Novian ini dipilih karena punya keunikan tersendiri. Usahanya memiliki unsur sociopreneur atau wirausaha yang juga membantu masalah sosial terutama sampah. Pembeli bisa menukarkan sampah kering berupa plastik atau kertas untuk mendapat segelas kopi.

Program ngopi bayar dengan sampah itu dia jalankan setahun terakhir. Sampah plastik dan kertas yang ditampung akan dijual ke bank sampah yang dikelola Pemkab Banyuwangi.

Meski nilai sampah tak sepadan dengan segelas kopi yang dijual, ia tetap menjalankannya sebagai upaya untuk mengurangi dampak sampah terutama plastik. “Kalau segelas kopi ditukar dengan sampah plastik hitung-hitungannya kita rugi,” kata Novian tentang perhitungan bisnisnya, 27 Februari 2020.

Dia menjelaskan misalnya produknya dengan harga termurah kopi tubruk atau kopi susu Rp8 ribu per cangkir, merugi bila ditukar sampah plastik seperempat kilogram senilai Rp600.

Bila dinaikkan menjadi 1 kilogram untuk satu cangkir kopi, dia khawatir tak bisa menampung sampah plastik yang masuk karena usahanya yang berpindah-pindah. Selain itu ketentuan 1 kilogram akan membebani pembeli dan tetap belum sepadan dengan modal secangkir kopi.

Solusinya, dia mengambil subsidi dari keuntungan penjualan makanan ringan yang jadi sandingan ngopi para pembeli. Bila makanan ringan buatan rekanannya itu laris, kerugian dari program ngopi bayar sampah bisa tertambal.

Pegawai Unair menukarkan sampah botol plastik ke layanan Bank Sampah Pemkab Banyuwangi. Sampah botol plastik itu ditukarkan dengan segelas kopi Mobile Cafe yang dikelola Novian. Foto: jatimnet.com

“Kalau kita combine (gabung) dengan keuntungan penjualan produk-produk snack sangat bisa (tertutupi), lebih malah,” katanya lagi.

Pria yang aktif mengampanyekan kesadaran mengelola sampah sejak 2009 itu mengatakan bumi bukan sekadar titipan, melainkan hak milik generasi berikutnya sehingga harus kita tinggalkan dalam keadaan baik.

“Generasi selanjutnya punya hak hidup di lingkungan yang bersih, juga untuk menunjukkan bahwa sampah juga punya nilai ekonomi,” kata Novian.

Namun menurutnya, budaya memilah sampah masih rendah. Padahal masih ada tahapan pengelolaan sampah selanjutnya. Selama ini, Novian biasa membuka mobile cafe-nya di utara Taman Makam Pahlawan (TMP) Banyuwangi dan peminat ngopi bayar sampah tak pernah menghasilkan lebih dari 1 kilogram.

Rendahnya kesadaran masyarakat dalam memilah sampah bisa dilihat dari data Badan Pusat Statistik (BPS) mengenai persentase rumah tangga menurut provinsi dan perilaku memilah sampah mudah membusuk dan tidak mudah membusuk tahun 2013-2014. Pada tahun 2013 sampah tidak dipilah dari semua provinsi sebanyak 76,31 persen dan meningkat jadi 81,16 persen di tahun 2014.

Provinsi Jawa Timur menjadi salah satu dari 14 provinsi yang memiliki persentase sampah tidak dipilah tertinggi, di atas 80 persen pada tahun 2013. Di tahun berikutnya jumlahnya menjadi 20 provinsi dengan persentase sampah tidak dipilah lebih dari 80 persen.

Sementara Sistem Informasi Pengelolaan Sampah Nasional (SIPSN) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menyajikan data lebih rinci tentang sampah di Banyuwangi. Di kabupaten seluas 408,23 kilometer dan dihuni 1.624.985 jiwa itu, ada 41,25 ton sampah masuk Tempat Pembuangan Akhir (TPA) dan 15,11 ton tidak terkelola setiap hari. (*)

Sumber: http://jatimnet.com/sociopreneur-ala-moca-ngopi-bayar-dengan-sampah 

Related posts

Leave a Reply