Kampung ini pernah jadi ‘kota kecil’ dengan sekian potensi pertanian, ekonomi, dan industri. Salah satu penggeraknya adalah warga Tionghoa yang lama membaur dengan pribumi (Jawa).
idealoka.com (Jombang) – Bangunan klenteng ini terlihat biasa dan tak begitu luas. Warna khas merah tua dan kuning menjadi warna dominan sebagaimana warna khas budaya Tiongkok. Ada tiga bagian ruangan di klenteng tersebut, ruang depan atau teras, tengah, dan ruang utama berisi altar pemujaan dewa atau leluhur.
Tak seperti klenteng pada umumnya yang didominasi arsitektur khas Tiongkok, pengaruh arsitektur Jawa terasa di klenteng ini. Atap genting teras depan berbentuk joglo khas Jawa.
Di atas atap terdapat ornamen dua pasang naga yang berhadapan dengan mustika (zhu) di tengahnya. Tepat di langit-langit atap teras terpampang papan bertuliskan Tempat Ibadah Tri Dharma Hong San Kiong, Gudo.
Klenteng ini adalah satu dari dua klenteng yang ada di Kabupaten Jombang, Jawa Timur. Tepatnya di Desa/Kecamatan Gudo, sekitar 15 kilometer selatan pusat kota Jombang.
BACA : TIONGHOA RASA JAWA (2): Toleransi dari Hati
Beberapa bagian bangunan kuno klenteng Hong San Kiong sengaja dipertahankan. Salah satunya pagar. Pagar besi dengan tiang berornamen batu itu sumbangan dari salah satu jemaah klenteng.
Keterangan itu tertulis dan terukir di salah satu tiang pagar dalam bahasa Mandarin dan bahasa Indonesia ejaan lama: Roedji Soembangan Dari Njonjah Loe Tjien Tjing Gringging 28-2-1938 (Pagar Sumbangan Dari Nyonya Tjien Tjing Gringging 28-2-1938). Sedangkan di dua tiang pagar terdapat patung burung yang mencengkeram tiang pagar.
Masuk ke dalam kawasan klenteng, saya disambut kakek tua berseragam satpam. “Ada perlu apa mas?,” kata Suyoto yang sudah lebih dari 30 tahun jadi satpam di klenteng setempat, 4 Februari 2018.
Ia pun memanggil salah satu pegawai klenteng untuk melayani apa yang saya butuhkan dalam menggali sejarah klenteng.
BACA : TIONGHOA RASA JAWA (3): Pribumi dan Berkah Dewa
Saya diberi sebuah buku berbahasa Indonesia ejaan lama cetakan tahun 1954. Buku berjudul “Sedjarah Gudo” itu karangan Liem Sik Hie. Dari buku ini saya mendapat beberapa keterangan penting mengenai Gudo, keberadaan etnis Tionghoa, dan klenteng yang dulu disebut sebagai Rumah Berhala Tionghoa.
Dalam buku tersebut, Liem menyatakan ia tak menemukan referensi sejarah kapan muncul etnis Tionghoa di Gudo dan kapan berdirinya klenteng. Hanya ditemukan catatan keuangan klenteng yang paling tua berangka tahun 1926.
Liem juga menjelaskan keberadaan klenteng tidak bisa dilepaskan dari kampung Pecinan yang kemudian disebut kampung atau dusun Petukangan atau Tukangan. Disebut Tukangan karena warga Tionghoa yang tinggal disitu kebanyakan bekerja sebagai tukang atau pekerja pabrik gula yang hanya berjarak sekitar 600 meter dari klenteng. Namun sejak tahun 1930 pabrik gula cabang dari pabrik gula Merican, Kediri, itu tutup.
Selain pekerja pabrik gula, warga Tionghoa di Gudo dulu juga bekerja sebagai pedagang, buruh, dan pegawai pegadaian. “Tapi sekarang hampir 100 persen pedagang di pasar,” kata warga Gudo yang juga pengurus dan penyuluh agama Konghucu di klenteng setempat, Nanik Indrawati.
Mengenai kapan berdirinya klenteng memang belum ditemukan catatan atau prasasti. Namun menurut Nanik, seorang profesor kepala perpustakaan nasional di Taiwan pernah berkunjung ke klenteng Hong San Kiong.
“Dia bisa membaca huruf Mandarin sedangkan pengurus klenteng generasi sekarang tidak ada yang bisa,” katanya. Profesor tersebut, menurut Nanik, mengatakan bahwa jika merujuk pada papan-papan berisi syair berbahasa Mandarin di altar pemujaan, terdapat angka tahun Tiongkok yang jika dikonversikan adalah tahun 1830 masehi.
Profesor tersebut juga mengunjungi kompleks makam Tionghoa di Gudo dan menemukan angka tahun tertua pada salah satu nisan makam. “Di nisan makam tertulis yang dimakamkan itu pejabat kerajaan zaman Dinasti Ming,” kata Nanik. Merujuk sumber sejarah dinasti Tiongkok, Dinasti Ming ada di tahun 1368 hingga 1644 masehi. Sehingga antara tahun tersebut dipercaya sudah ada etnis Tionghoa yang datang ke Gudo.
BACA : TIONGHOA RASA JAWA (4): Berbagi dengan Warga
Nanik berasumsi nama “Gudo” berasal dari bahasa Mandarin yang terpengaruh logat Jawa yang artinya kota tua. “Gudo dulu sudah seperti kota,” katanya,” katanya. Gambaran Gudo sebagai kota kecil itu menurutnya bisa dilihat di arsip perpustakaan nasional Belanda. “Kalau kita lihat gambarnya dari atas, ada pabrik gula yang dijalankan dengan 70 pintu air atau orang menyebutnya rolak 70, ada perkampungan Tionghoa, pasar, dan kuburan. Untuk masyarakat kota, fasilitas kehidupannya sudah cukup,” katanya.
Menurut Ketua Yayasan Klenteng Hong San Kiong, Toni Harsono, Gudo dulu adalah sebuah daerah dengan perindustrian, pertanian, dan perdagangan yang maju. “Gudo dulu lebih ramai dari sekarang. Dulu ada pabrik gula dan banyak gudang tembakau,” katanya.
Menurutnya, jumlah warga etnis Tionghoa di Gudo saat ini jauh menurun. “Mungkin sekitar 20 kepala keluarga dan rata-rata berdagang,” katanya. Berkurangnya etnis Tionghoa di Gudo karena ada yang pindah ke kota lain mengikuti suami atau istri atau pindah berdagang ke Jombang kota.
Versi lain mengenai awal mula adanya etnis Tionghoa di Gudo diceritakan mantan Kepala Desa Gudo Budianto Tjokroatmojo, 74 tahun.
“Menurut cerita dari para sesepuh desa dulu, ada kaitannya dengan penyerbuan tentara Tartar (Mongol) yang dibantu Raden Wijaya ke Kediri,” kata pria yang menjabat kepala desa sejak 1982 hingga 1996 ini.
Puluhan ribu tentara Tartar itu dikirim kaisar Dinasti Yuan, Kubilai Khan, ke Jawa untuk menyerang kerajaan Singhasari yang dipimpin Kertanegara. Sebab Kertanegara menolak memberi upeti pada Meng Qi suruhan kaisar dan bahkan memotong telinganya. Namun saat tentara Tartar datang, Singhasari sudah hancur dan Kertanegara tewas akibat serangan kerajaan Kadiri yang dipimpin Jayakatwang.
BACA : TIONGHOA RASA JAWA (5): Akulturasi Sosial Budaya
Akhirnya, menantu Kertanagera, Raden Wijaya, bersedia tunduk pada pasukan Tiongkok asal pasukan Tiongkok ikut menyerang kerajaan Kadiri (Kediri) yang dipimpin Jayakatwang. Tawaran ini disetujui. Serangan gabungan pasukan Raden Wijaya dan Tartar dilakukan lewat sungai dan darat.
“Nah, pasukan Tartar yang ikut menyerbu dari darat itu berhenti (bermarkas) di Gudo,” katanya. Menurutnya, setelah membawa kemenangan, banyak pasukan Tiongkok tidak kembali ke negerinya dan menikah dengan masyarakat pribumi (Jawa). Dari sinilah lahir generasi peranakan atau keturunan Tiongkok di Gudo.
Dikutip dari wikipedia.com, serangan pasukan Tiongkok dan Raden Wijaya ke Kediri terjadi 20 Maret 1293. Sehingga diperkirakan tahun itu sudah ada etnis Tionghoa dari Tiongkok yang menetap di Gudo atau tak kembali ke negerinya.
Mengenai asal usul kata “Gudo”, menurut Budi, berdasarkan cerita sesepuh desa, karena banyak pasukan Tiongkok yang tinggal di Gudo tergoda dan menikah dengan pribumi. Dalam bahasa Jawa, “gudo” berarti godaan atau tergoda. “Selain itu katanya dulu ada tokoh dari pasukan Tiongkok yang bernama Guh Do. Lidah orang Jawa menyebutnya Gudo,” katanya.
Namun cerita turun temurun ini belum bisa jadi referensi utama karena belum ada kajian ilmiahnya. Masih berdasarkan cerita sesepuh desa, menurut Budi, desa tersebut dulu tidak bernama Gudo. “Tapi Sukoharjo. Tidak tahu kapan berubah nama jadi Gudo,” katanya. (*)
Penulis & Foto: Ishomuddin