idealoka.com – Sebutan empu tak sembarang diberikan. Empu tak sekedar orang yang ahli membuat peralatan dari bahan logam (pande atau pandai besi). Empu memiliki kemampuan lebih dari pande. Sebutan empu –sebagai pembuat pusaka dan senjata- diberikan pada generasi yang benar-benar memiliki trah (keturunan) empu sejak jaman dulu di suatu wilayah. Di jaman kerajaan di Nusantara, selain sebagai pembuat peralatan berbahan logam termasuk senjata perang, empu juga didaulat sebagai pembuat pusaka bagi para raja beserta bangsawan keturunannya dan orang-orang kepercayaan kerajaan yang diberi mandat sebagai pemimpin wilayah di bawah kerajaan.
Trah empu biasanya diturunkan secara patriarki melalui garis anak kandung. Di zaman Majapahit akhir, tersebut nama seorang empu, Ki Supodriyo –biasa dipanggil Empu Supo. Hingga abad 21, lahir 16 keturunan Empu Supo. Bukti ini didasarkan catatan penerus empu terakhir, Paku Rodji. Paku Rodji tinggal di Dusun Brangkal, Desa Kedungpanji, Kecamatan Lembeyan, Kabupaten Magetan, Jawa Timur. Sebagaimana kepribadian seorang empu, Paku Rodji –akrab dipanggil Ki Rodji- merupakan sosok yang sederhana.
Dibalik kesederhanaannya, Paku Rodji menjaga budaya dan tradisi pakem pembuatan keris Jawa. “Empu itu pasti memiliki keahlian sebagai pande. Sedangkan pande tidak memiliki keahlian seperti empu,” tutur Paku Rodji di rumahnya sambil membersihkan bara api rokok yang akan dihisap dengan telunjuk jari tangannya. Maklum, ia sudah biasa dengan panasnya tempaan besi yang dibuatnya jadi pusaka. Wawancara eksklusif dengan Paku Rodji terjadi pada 27 Mei 2011 atau sepekan sebelum beliau wafat pada 4 Juni 2011 di usia 59 tahun.
Menurutnya, Ki Supo, adalah suami dari Dewi Rosowulan dan Dewi Rosowulan adalah adik dari Raden Sahid yang kemudian dikenal sebagai Sunan Kalijaga. Sunan Kalijaga adalah anak dari Adipati Tuban pada abad ke-15, Tumenggung Wilatikta. Jadi, Ki Supo adalah adik ipar Sunan Kalijaga. Beberapa keris karya Ki Supo diantaranya keris Kyai Nogososro, Kyai Sengkelat, dan Kyai Carubuk. Keris Kyai Sengkelat dan Kyai Carubuk merupakan karya Ki Supo yang dibuat atas permintaan Sunan Kalijaga.
Generasi empu Majapahit diyakini turun temurun hingga para empu era Mageti. Istilah Mageti diambil dari keberadaan generasi terakhir yang masih ada. Nama Mageti diambil dari seorang perintis wilayah Magetan yang dulu masih dibawah Kadipaten Madiun yakni Ki Ageng Mageti. Era Mageti dimulai dari empu keturunan ke-14 dari Ki Supo yakni Ki Guno Sasmito Utomo. Makam Ki Guno berada di kompleks pemakaman Lingkungan Sawahan, Kelurahan Kepolorejo, Kecamatan/Kabupaten Magetan (wilayah Magetan kota). Kompleks makam ini berada tepat di barat Masjid Tiban “Al Faqih”.
Makam Ki Guno ini jadi salah satu bukti bahwa keturunan Ki Supo sebagai empu zaman Majapahit akhir memang tinggal di daerah yang sekarang bernama Magetan. Belum diketahui apakah keberadaan Ki Supo yang menurunkan keturunan di Magetan ada kaitannya dengan kisah raja Majapahit terakhir, Prabu Brawijaya V, yang mengakhiri pelariannya di Gunung Lawu. Gunung Lawu berada di perbatasan Kabupaten Magetan, Jawa Timur, dan Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah.
Ki Guno disebut sebagai empu era Mageti I. Sebagaimana tradisi empu, trah (keturunan) bakal diturunkan melalui garis keturunan anak kandung. Pasca Ki Guno, trah empu era Mageti turun ke Imam Mustofa sebagai empu Mageti II. Dari Imam Mustofa, trah empu diturunkan ke anaknya, Imam Panani (Imam Syuhadak) sebagai empu Mageti III. Hingga sekarang, trah empu Mageti diteruskan salah satu anak kandung Imam Panani, Paku Rodji, sebagai empu Mageti IV. Setelah Paku Rodji wafat, trah empu dilanjutkan anaknya, Teguh Budi Santoso. (*)
Videografer : Herpin Pranoto
Fotografer dan naskah: Ishomuddin