Masjid dan Musala, Lahan Korupsi “Penyembah Harta”

idealoka.com – Waktu menjelang petang. Kumpulan awan mulai menutupi puncak “gunung suci” Penanggungan. Kumandang tarhim dan salawat sahut menyahut terdengar dari masjid-masjid menyambut waktu magrib yang segera tiba. Tak terkecuali salah satu masjid di Desa Selotapak, Kecamatan Trawas, Kabupaten Mojokerto, Jawa Timur.

Dibalik ketenangan desa dan kesucian masjid setempat, tercium aroma korupsi. Menurut sumber idealoka.com, masjid setempat mendapat proyek rehab yang didanai dana hibah dari APBD Kabupaten Mojokerto tahun 2015.

Tahun 2015 masjid ini direhab total dengan mengubah konstruksi dan bangunan atap dengan cor semen. “Waktu itu ada dana dari amal jariyah sekitar Rp40 juta,” kata salah satu warga saat ditemui, 19 September 2018. Warga ini pernah jadi panitia pembangunan masjid namun mengundurkan diri sebelum pembangunan dilakukan karena melihat ada indikasi korupsi.

Karena dana amal jariyah tak mencukupi, pengurus takmir masjid mengajukan proposal dana hibah ke Pemerintah Kabupaten Mojokerto. Setelah melalui bantuan Anggota DPRD kabupaten yang kebetulan warga setempat, proposal pengajuan dana pembangunan masjid pun disetujui. “Waktu itu yang saya tahu dananya cair dan diambil Anggota DPRD tersebut secara tunai, tidak melalui rekening,” katanya.

Seingatnya, masjid setempat menerima dana hibah Rp90 juta. “Setelah itu diberikan pada pengurus takmir masjid Rp80 juta, berkurang Rp10 juta. Alasannya untuk administrasi ke kecamatan dan polsek,” katanya.

Setelah diterima takmir masjid, dana diberikan ke panitia pembangunan masjid. Dari sini dana kembali dipotong dan diduga jadi bancakan pengurus takmir. “Dari dana Rp80 juta yang diterima takmir, dikurangi lagi Rp20 juta dan sisanya Rp60 juta diberikan ke panitia pembangunan masjid,” katanya.

Pengurus takmir beralasan dana Rp20 juta untuk kebutuhan operasional termasuk biaya transportasi selama mengurus pengajuan dan pencarian dana. “Masak untuk transportasi saja butuh Rp20 juta,” katanya heran.

Mengetahui ada yang tak beres, ia pun mundur dari struktur panitia pembangunan masjid. “Karena saya tahu ada yang dikorupsi, saya enggak mau,” katanya.

Selain dana yang ‘disunat’ di awal, menurutnya, juga ada modus mark up dana dalam upah pekerja pembangunan masjid. “Upahnya Rp70 ribu per bulan. Namun tukang atau pekerja disuruh tanda tangan Rp100 ribu oleh pengurus takmir,” katanya. Sehingga, ada penggelembungan dana upah pekerja Rp30 ribu per orang.

Ia menyayangkan korupsi yang terjadi dalam pembangunan masjid setempat. “Saya sudah ingatkan pengurus takmir, bahkan ada yang sudah berstatus haji, ini patut disayangkan,” katanya.

Tak hanya masjid, pembangunan musala di lembaga pendidikan juga jadi lahan korupsi meski nilainya kecil. Seperti yang dialami salah satu Madrasah Aliyah (MA) di Kecamatan Ngoro, Kabupaten Mojokerto.

Sumber yang juga guru di sekolah tersebut mengungkapkan bahwa sekolah tempat ia mengajar pernah menerima dana hibah dari APBD Kabupaten Mojokerto tahun 2015 untuk pembangunan musala.

Pengusulan atau pengajuan dana hibah tersebut dilakukan pengurus yayasan pendidikan sekolah dan dibantu seseorang yang dekat dengan Anggota DPRD. “Pengajuannya tetap lewat desa namun dibantu orang yang menghubungkan pengurus yayasan dengan Anggota DPRD,” katanya, 20 Agustus 2018.

Setelah diseleksi dan usulan diterima, sekolah setempat sebenarnya mendapat dana hibah Rp50 juta. “Namun dari Rp50 juta itu, yang kami terima hanya Rp35 juta, dipotong sekitar 30 persen,” katanya. Dana tersebut diterima secara tunai atau tak melalui rekening yayasan.

Ia tak tahu uang itu dipotong untuk apa dan mengalir kemana saja. “Kebetulan bukan saya yang mengurusnya, tapi ada guru lain dan pengurus yayasan yang mengurus,” katanya. Menurutnya, fee dibalik bantuan dana hibah dan bantuan sosial (bansos) di Kabupaten Mojokerto bukan rahasia lagi. “Sudah umum dipotong rata-rata 30 persen,” katanya.

Dana yang hanya Rp35 juta tersebut tentu tidak cukup untuk membangun sebuah musala dengan kapasitas atau daya tampung 50-100 orang tersebut. “Uang Rp35 juta itu hanya buat tambahan karena kebutuhan kami banyak untuk membangun musala dari nol,” katanya.

Dugaan korupsi dana hibah dari pembangunan masjid dan musala sekolah itu hanyalah dua dari banyak realisasi dana hibah tahun 2015 yang bermasalah.

Jumlah dana hibah yang digelontorkan saat itu terbilang fantastis. Data Badan Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah (BPKAD) Kabupaten Mojokerto menyebutkan bahwa sebelum ada perubahan APBD tahun 2015, dana hibah yang dianggarkan mencapai Rp62,3 miliar tepatnya Rp62.324.529.500. Setelah ada perubahan APBD, dana yang dianggarkan meningkat tajam menjadi Rp94,4 miliar tepatnya Rp94.420.253.500, meningkat sekitar Rp32 miliar tepatnya Rp32.095.724.000.

Anggaran dana hibah tahun 2015 jauh lebih tinggi jika dibanding tahun 2016 dan 2017. Tahun 2016, anggaran dana hibah yang dikeluarkan Pemerintah Kabupaten Mojokerto hanya Rp27,7 miliar. Sedangkan di tahun 2017 sekitar Rp52,1 miliar.

Pengelolaan dana hibah saat itu diatur dalam Peraturan Bupati Mojokerto Nomor 15 Tahun 2015 tentang Tata Cara Penganggaran, Pelaksanaan dan Penatausahaan, Pertanggungjawaban dan Pelaporan, serta Monitoring dan Evaluasi Pemberian Hibah, Bantuan Sosial, Belanja Tidak Terduga dan Pengeluaran Pembiayaan yang Bersumber dari APBD Kabupaten Mojokerto.

Dalam peraturan tersebut, sama sekali tidak mengatur ketentuan pengusulan penerima dana hibah melalui anggota DPRD namun langsung ke dinas atau satuan kerja terkait di Pemerintah Kabupaten Mojokerto.

“Nyatanya, para anggota DPRD menyampaikan rekomendasi pada eksekutif terkait lembaga mana saja yang diusulkan menerima hibah,” kata pelapor dugaan korupsi dana hibah yang juga Ketua Dewan Pimpinan Daerah (DPD) Front Komunitas Indonesia Satu (FKI-1) Kabupaten Mojokerto Wiwid Haryono.

Dengan mekanisme tak resmi itu, membuka peluang anggota dewan memainkan peran dan pengaruh pada calon penerima hibah. “Jika ingin mendapat dana hibah, timbal baliknya adalah para anggota DPRD meminta bagian dari dana yang diterima tiap kelompok masyarakat atau lembaga,” katanya. (*)

Related posts

Leave a Reply