PEMBUNUHAN JURNALIS: Intrik Politik dan Hukum

Aksi jurnalis di Malang mengecam remisi pembunuh jurnalis, 25 Januari 2019.

idealoka.comTragedi pembunuhan berencana pada wartawan sekaligus redaktur koran harian Radar Bali (Jawa Pos Group), Anak Agung Gde Bagus Narendra Prabangsa, kembali mencuat setelah kasusnya terungkap tahun 2009 lalu. Prabangsa dibunuh karena berita-berita yang ditulisnya mengenai dugaan korupsi dana pendidikan di Bangli, Bali, yang bersumber dari APBD dan APBN.

Korupsi tersebut melibatkan Nyoman Susrama adik kandung Bupati Bangli saat itu, I Nengah Arnawa. Tragedi itu kembali jadi buah bibir setelah 7 Desember 2018 Presiden Joko Widodo memberi remisi perubahan hukuman Susrama dari seumur hidup menjadi 20 tahun penjara. Susrama adalah perencana atau perancang pembunuhan dengan dibantu anak buahnya.  

Pada saat perkaranya disidik, Susrama adalah calon anggota legislatif (caleg) terpilih dengan suara terbanyak di Dapil Bangli I (Kecamatan Bangli dan Tembuku) dari PDI Perjuangan untuk DPRD Bangli periode 2009-2014. Belum diketahui motif pemberian remisi tersebut, apakah murni prosedur hukum atau bermuatan politis untuk mendulang suara di Pilpres 2019 khususnya di Bangli dan Bali pada umumnya.

Kasus pembunuhan Prabangsa tak hanya memuat aspek kriminal, tapi juga intrik politik dan hukum di tengah proses persidangan. Melihat pentingnya kasus ini, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia dan AJI Denpasar melakukan investigasi dan menyusun laporan 100 halaman yang dibukukan dengan judul “Jejak Darah Setelah Berita”.

Laporan disusun AJI dan didukung Aliansi Pers Asia Tenggara atau Southeast Asian Press Allliance (SEAPA). Laporan ditulis Abdul Manan dan Sunudyantoro serta editor Wahyu Dhyatmika, ketiganya pengurus AJI Indonesia dan jurnalis Tempo. Mereka dibantu beberapa wartawan lokal Bali sebagai periset diantaranya Bambang Wiyono, Rofiqi Hasan (Tempo), Dewi Umaryati, dan Miftakhul Huda.

Berikut ini salah satu bagian laporan tersebut:

Intrik Politik

Empat orang yang diduga terlibat dalam pembunuhan Prabangsa bukanlah orang sembarangan. Mereka adalah pejabat dan orang yang ditakuti dan dikenal berpengaruh di Bangli. Susrama juga politikus Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP).

Di tengah penyidikan kasus ini, Pemilihan Umum digelar pada 5 April 2009. Susrama mencalonkan diri menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Bangli. Istrinya, Hening Puspitarini, juga mencalonkan diri menjadi anggota DPRD Bali. Keduanya maju dari PDIP.

Sadar tengah dibidik polisi, Susrama pun memainkan kartu politiknya. Dia membentuk tim kuasa hukum yang terdiri dari para advokat yang juga pengurus teras PDIP di Bali. Mereka adalah Wayan Yarmada SH (Wakil Ketua DPD PDIP Bali Bidang Hukum dan HAM), Made Suparta (Anggota Tim Hukum dan HAM DPD PDIP Bali) dan Pande Parwata (Sekretaris DPC PDIP Gianyar). Selain mereka, juga ada Nyoman Wisnu, Suryadharma, Ngakan Putra Adnyana, Ketut Partha, I Gede Putu Adi Mulyawan, I Gede Astawa, Sukirman, Wayan Wija, dan I Made Ngurah Alit.

Kelompok pendukung Susrama pun menebar intrik untuk memecah konsentrasi Tim Advokasi AJI. Mereka menuding Solidaritas Jurnalis Bali yang getol mendorong pengusutan kasus Prabangsa ditunggangi oleh kepentingan lawan politik PDIP. Dibuatlah kesan seolah-olah pengusutan Susrama didalangi oleh motif politik untuk menggembosi kekuatan PDIP di Bangli.

Upaya Susrama untuk menggeser kasus ini dari ranah hukum menjadi ranah politik didukung pula oleh manuver kakaknya, Bupati Bangli Nengah Arnawa. Ada kabar Arnawa sudah menghadap Ketua DPP PDIP Megawati Soekarnoputri untuk meminta perlindungan politik. Konon di hadapan Megawati, Arnawa bersumpah bahwa dia dan keluarganya menjadi korban fitnah belaka.

Di media massa, sang Bupati bahkan berani bersumpah di Catur Desa dan Catur Setra (kuburan) untuk meyakinkan bahwa keluarganya tak terkait pembunuhan Prabangsa.

Upaya Susrama yang begitu gencar itu pun perlahan membuahkan hasil. Penyidikan sempat tak berkembang. Polisi kelihatan ragu berhadapan dengan kekuatan politik yang begitu dominan. Mengusik PDIP di Bali memang punya konsekuensi tidak ringan. Enam dari sembilan kabupaten dan kota di Bali dipimpin kepala daerah dari PDIP8. Hampir semua DPRD juga dikuasai kader partai banteng. Jika semua struktur partai itu bersatu membela Susrama, polisi bakal kesulitan.

Tim Advokasi Kasus Prabangsa harus berpikir keras untuk mencari strategi jitu, demi menangkal serangan balik kubu Susrama. Mereka akhirnya sepakat untuk memisahkan Susrama dari benteng perlindungan partainya. Hanya dengan cara itulah, polisi bisa leluasa memeriksa orang kuat di Bangli itu.

Setelah strategi itu disepakati, sejumlah pentolan AJI Denpasar mulai mendekati kader-kader dan pemimpin PDIP di Bali dan di Jakarta. Upaya lobi ini dilancarkan untuk meyakinkan PDIP bahwa kasus Susrama tidak ada hubungannya dengan politik, melainkan murni kasus criminal.

Pasca pendekatan Tim Advokasi itu, mulai muncul suara dari kader PDIP yang meminta Partai Banteng menjauhkan diri dari Susrama dan kasus pembunuhan Prabangsa. Mereka beralasan, suara PDIP dan peluang Megawati dalam Pemilihan Presiden Juli 2009 bisa terganggu jika nama PDIP selalu dikaitkan dengan kasus pembunuhan wartawan.

Tapi permintaan itu tidak ditanggapi kubu Susrama. Kuasa hukum Susrama, Wayan Yarmada, yang juga Ketua DPD PDIP Bali Bidang Hukum dan HAM, secara terbuka menolak untuk mundur dari barisan pembela Susrama. Dia mengaku hanya mau mundur jika mendapat perintah langsung dari Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri, Sekjen PDI Perjuangan Pramono Anung, Ketua DPD PDI Perjuangan Bali AA Ngurah Oka Ratmadi atau Sekretaris DPD PDIP Bali, Nyoman Parta.

Masalah krusial ini akhirnya selesai setelah advokat senior yang juga Ketua Kongres Advokat Indonesia (KAI) Bali, Nyoman Sudiantara, turun tangan. Sejak awal Sudiantara memang bagian dari Tim Advokasi Kasus Prabangsa yang dibentuk AJI Denpasar. Kebetulan Sudiantara juga kader PDIP yang punya jabatan cukup penting dalam struktur partai. Dia adalah bagian dari Badan Pemenangan Pemilu DPC PDIP Denpasar.

Berkat pendekatan Sudiantara, satu demi satu kader dan pengurus PDIP yang terlibat dalam tim kuasa hukum Susrama mengundurkan diri. Gerakan politisasi tindak kriminal Susrama berhasil dimentahkan.

Ketika Pemilihan Legislatif dan Pemilihan Presiden digelar di Bangli, April dan Juli 2009, prediksi Tim Advokasi Kasus Prabangsa terbukti akurat. Keputusan PDIP untuk menjauhkan diri dari Susrama berdampak positif. Suara Partai Banteng sama sekali tak terusik, bahkan melonjak.

Pada pemilihan umum legislatif, perolehan suara PDI Perjuangan di Kabupaten Bangli naik menjadi 62.330 suara. Sedangkan pada pemilihan umum presiden, pasangan Megawati-Prabowo Subianto meraih 78.458 suara.

***

Pada 25 Mei 2009, AJI Denpasar menggelar doa peringatan 100 hari meninggalnya Prabangsa. Ratusan aktivis Hak Asasi Manusia, penggiat LSM, politikus, seniman, tokoh agama, aktivis lingkungan, advokat, memenuhi pelataran kantor AJI Denpasar. Tak sedikit yang membawa minuman dan makanan kecil untuk membantu konsumsi acara.

Di antara hadirin, tampak Ketua DPD PDIP Bali AA Ngurah Oka Ratmadi alias Cok Rat, Ketua Dewan Pakar Partai Demokrat Bali Pasek Suardika, anggota DPD RI Kadek Arimbawa alias Lolak, pinisepuh Sandi Murti, Gusti Ngurah Harta, dan tokoh spiritual BR Agus Indra Udayana.

Ketika diberi waktu untuk berbicara, tokoh PDIP Bali, Cok Rat, menegaskan dukungannya pada upaya penuntasan kasus pembunuhan Prabangsa. “Jangan takut, jangan khawatir. Teman-teman punya tanggungjawab untuk memantau kasus ini. Banyak pihak yang mendukung di belakang Anda,” kata Cok Rat disambut tepuk tangan panjang.

Hari itu, Polda Bali mengumumkan tujuh tersangka pelaku pembunuhan Prabangsa. Semuanya sudah ditangkap dan ditahan polisi. Setelah 100 hari, pertanyaan besar soal siapa pembunuh Prabangsa mulai terjawab.

Menkondisikan Saksi di Pengadilan

Rekayasa demi rekayasa yang terbongkar di persidangan Susrama, membuat geram banyak pihak. Apalagi ketika intimidasi dan ancaman pembunuhan saksi yang memberatkan Susrama terkuak. Gus Oblong misalnya mengaku terpaksa mencabut kesaksiannya karena takut diancam dibunuh oleh tangan kanan Susrama, Nyoman Rencana.

Ketika diperiksa polisi, Rencana sebenarnya sudah mengakui perannya dalam pembunuhan Prabangsa. Dia mengaku menghabisi Prabangsa karena wartawan itu mencoba memeras bosnya. Pengakuan Rencana menjadi kunci untuk membuktikan bahwa motif pembunuhan Prabangsa adalah pemberitaan Radar Bali mengenai manipulasi dalam proyek pembangunan sekolah di Dinas Pendidikan Bangli.

Tapi di persidangan, Rencana mencabut pengakuannya. Demikian juga para terdakwa lain. Semua kompak mengaku disiksa polisi agar mengaku. Dari delapan anakbuah Susrama yang menjadi terdakwa sekaligus menjadi saksi, hanya Gus Oblong yang setia pada versi pengakuannya di Berita Acara Pemeriksaan.

Jaksa sempat kelabakan menangkal aksi cabut BAP ini. Untuk membantah pengakuan para terdakwa bahwa mereka disiksa selama diperiksa polisi, jaksa bahkan menghadirkan para penyidik kasus ini di persidangan.

Melihat gelagat yang kurang menguntungkan, Tim Advokasi Kasus Prabangsa dan AJI Denpasar berinisiatif menggagas pembentukan Tim Pembela Kebebasan Pers. Tim ini terdiri dari para advokat senior yang dimintai tolong untuk memantau dan mengkaji jalannya persidangan. Total ada 16 advokat yang bersedia membantu dan bergabung dalam Tim Pembela Kebebasan Pers ini. Pada 9 November 2009, tim ini resmi terbentuk dan mulai bekerja.

Anggota tim ini antara lain Nyoman Sudiantara SH (Ketua Kongres Advokat Indonesia Cabang Bali), Agus Samijaya SH MH (mantan Direktur Persatuan Bantuan Hukum Indonesia Cabang Bali), Erwin Siregar SH, I Wayan ‘Gendo’ Suardana SH, Ari B Sunardi SH, Ika Nedy Wahyudi SH, Drs EW Indrawan SH, I Gusti Komang Ngurah Karyadi SH, I Made Suardana SH (Ketua Ikatan Advokat Indonesia Cabang Denpasar), Dewa Alit Sunarya SH, Ni Nyoman Sri Widhiyanti SH (Direktur PBHI Cabang Bali), I Ketut Sutrisna SH, I Nengah Jimat SH (LBH Bali), Remigius Jong SH, Raka Swarna SH, Wihartono SH, dan Made Mustika SH.

Pertemuan perdana tim ini menyepakati Agus Samijaya menjadi Koordinator Tim Pembela Kebebasan Pers. Wayan ‘Gendo’ Suardana didaulat menjadi Sekretaris Tim.

Kepada wartawan, Agus Samijaya menjelaskan target kerja tim ini. “Kami akan menyusun langkah-langkah untuk mengawal jalannya persidangan agar berjalan sesuai aturan dan tanpa rekayasa,” kata Agus. Pengawalan sidang ini menjadi penting sebab kematian Prabangsa bukanlah pembunuhan biasa. “Kasus ini adalah ancaman untuk kebebasan pers karena korbannya adalah seorang jurnalis yang sedang bertugas,” kata Agus Samijaya lagi.

Setiap kali sidang, anggota Tim Pembela Kebebasan Pers bergiliran datang untuk memantau persidangan. Mereka juga mengevaluasi jalannya persidangan ketika tercium adanya kejanggalan dari manuver tim kuasa hukum Susrama.

Bahkan, sesekali mereka juga aktif memberikan masukan kepada para jaksa penuntut umum, yang kadang kewalahan dalam persidangan. Sebaliknya, ketika ada jaksa yang terlihat kurang gigih menggali fakta persidangan, Tim juga mencatat dan melaporkan kelakuan jaksa itu ke atasannya di Kejaksaan Tinggi Bali. Ini harus dilakukan untuk mengantisipasi jaksa yang “masuk angin” digerilya kubu Susrama.

Secara berkala dan rutin, Tim Pembela juga menggelar konferensi pers dan menyampaikan hasil evaluasi persidangan kepada pers. Semua upaya ini dilakukan agar majelis hakim, jaksa dan tim penasehat hukum terdakwa menyadari bahwa semua gerak-gerik mereka di persidangan diawasi oleh publik.

Pada 1 Desember 2009, Tim Pembela Kebebasan Pers secara khusus datang menemui Wakil Kepala Kejaksaan Tinggi Bali, AF Darmawan, untuk melaporkan sejumlah jaksa penuntut umum yang kelihatan sekali kurang greget dalam menggali fakta-fakta dalam persidangan.

Laporan tersebut ditanggapi dengan baik. Pada persidangan berikutnya, Wakajati AF Darmawan bersama Asintel Kejati Made Parma, turun langsung untuk memantau kerja para jaksa di Pengadilan Negeri Denpasar.

***

Tim Pembela Kebebasan Pers juga aktif menggalang dukungan publik yang lebih luas. Mereka memanfaatkan jejaring media sosial seperti Facebook dan Twitter. Sekretaris Tim Pembela Kebebasan Pers, Wayan ‘Gendo’ Suardana SH, misalnya membuat grup khusus di Facebook dengan nama ‘Dukung Penuntasan Kasus Pembunuhan Prabangsa’. Respons publik sangat baik. Dalam waktu singkat, anggotanya melonjak menjadi 2.932 Facebookers. Padahal target awalnya hanya 2 ribu orang.

Para pendukung di Facebook datang dari segala penjuru Indonesia, tak hanya dari Bali. Sejumlah aktivis LSM di Jakarta seperti Kontras, Elsam, dan para penggiat pers dari seluruh pelosok Indonesia, bergabung di sana. Setiap detail perkembangan sidang kasus pembunuhan Prabangsa di-upload di grup itu, supaya terpantau oleh semua anggota grup.

“Jejaring sosial Facebook adalah media tersendiri yang memiliki kekuatan dan jejaring tak terbatas,” kata Gendo, soal alasannya membuat grup ini. “Di era sekarang, Facebook bisa jadi media kampanye yang cukup populer,” katanya lagi.

Dengan group ini, Tim Pembela Kebebasan Pers ingin mengkampanyekan pentingnya melawan setiap bentuk kekerasan terhadap jurnalis, terlebih di era demokrasi. Penggunaan media sosial seperti Facebook juga penting untuk mengukur respon dan animo masyarakat terhadap kasus Prabangsa dan masalah lain yang menimpa pers Indonesia.

Berbagai komentar dan status Facebook di grup ‘Dukung Penuntasan Kasus Pembunuhan Prabangsa’, rata-rata bernada sama. Mereka ingin pembunuh Prabangsa dihukum berat. (*)

Related posts

Leave a Reply