Pejabat, Jurnalis Buruh, dan UUD

foto: www.tempo.co

idealoka.com – Siang itu seorang jurnalis, beberapa pejabat kepala dinas, dan sang bupati berada dalam sebuah pembicaraan serius, terkait pemerintahan. Jurnalis yang kadang tak merasa sebagai buruh itu pun mengajukan pertanyaan-pertanyaan kritis. Maklum ia bukan wartawan pemula, sudah lebih dari sepuluh tahun jadi kuli tinta.

Di tengah pembicaraan dan pertanyaan wartawan, sang bupati agak terusik. Bupati yang terlalu percaya diri dan sok itu pun melontarkan sindiran. “Ah, wartawan ini ada-ada saja, aku tahu bagaimana wartawan itu, UUD,” katanya. Istilah UUD yang dilontarkan bukan Undang-Undang Dasar sebagaimana yang lazim kita dengar. Ya, Ujung-Ujungnya Duit (UUD), begitu maksud sang bupati.

Sang wartawan tersinggung, merah telinganya mendengar sindiran itu. Wartawan ini termasuk langka, ia saat itu tak aktif di organisasi profesi wartawan apapun, termasuk organisasi yang anti suap. Barangkali memang watak dan mentalnya yang menganggap begini: “Kalau saya menerima sesuatu dari seseorang, maka saya akan mudah dikendalikan. Sebaliknya jika saya menolaknya, maka saya akan lebih merdeka, bebas kritik sana kritik sini selama proporsional dan ada dasarnya”. Begitu mungkin kira-kira yang ada di benaknya.

Sang bupati yang katanya kaya raya dan menganggap: “semua bisa saya beli dengan uang” itu pun menyodorkan sejumlah uang. Sang wartawan pun tersinggung. Ia tak tinggal diam. Dengan aksi koboinya, ia pun melemparkan lembaran uang tersebut sambil berkata. “Kalian saksikan ya, saya tak butuh ini, saya hanya ingin diskusi dan bertanya,” katanya. Para pejabat yang berada di sekitar sang bupati pun kaget terbelalak. Tak menyangka wartawan ini nekat melakukannya di depan sang bupati. Wartawan pun langsung ambil langkah meninggalkan sang bupati dan anak buahnya.

Kini, bupati itu meratap dan terlibat perkara korupsi. Baru sedikit perkaranya yang terungkap lembaga anti rasuah bernama KPK. Diduga masih banyak perkara yang menderanya. Ujung-Ujungnya Gratifikasi (UUG). Apapun modusnya, ya UUG itulah.

Jadi wartawan itu katanya susah, gaji atau honor kecil dan resiko kerjanya tak biasa. Maka tak heran, ia terima ini terima itu. Kecuali wartawan dengan media dan kesejahteraan yang mapan, barangkali tak mau atau tak mudah menerima ini menerima itu. Jika gajinya lebih dari cukup tapi menerima ini menerima itu yang bukan haknya, itu namanya rakus atau kemaruk kata orang Jawa.

Wartawan, jurnalis, kuli tinta, atau apapun sebutannya, sejatinya ia buruh. Kadang tak merasa buruh karena “keistimewaan” yang dipunyainya. Aksesnya luar biasa, bisa bertemu atau mewawancarai presiden sekalipun. Tapi jika akses itu tak dimanfaatkan dengan baik atau disalahgunakan maka citra wartawan jadi tak bagus di mata masyarakat. “Ah, wartawan itu enak, banyak yang memberi amplop (berisi uang tentunya),” begitu anggapan banyak masyarakat.

Cerita yang juga fakta di paragraf 1-5 diatas diatas jadi pelajaran bahwa tak semua orang bisa dibeli dengan uang. Bahwa menghamba itu hanya pada Yang Maha Kuasa, bukan pada sesama manusia.

Apapun profesinya, integritas itu sangat penting, tak ternilai harganya dibanding uang yang nilainya hanya Rp50 ribu, Rp100 ribu, hingga milyaran sekalipun. Integritas itu investasi yang tak pernah mati. Sama dengan pendidikan, investasi yang tak lekang dimakan zaman. Integritas terbentuk dari pendidikan sejak dini di keluarga, pendidikan formal, dan pengaruh lingkungan.

Selamat Hari Pendidikan Nasional 2 Mei 2018 dan Hari Buruh 1 Mei 2018.

 

Related posts

Leave a Reply