Mendung pekat menggelayut di langit wilayah Cempaka Putih, Jakarta Pusat. Angin berhembus kencang membanting derasnya hujan. Air dengan ketinggian sekitar 50 sentimeter menutupi jalan beraspal. Satu unit mobil yang memaksa menerjang luapan air tiba-tiba berhenti.
Pengemudinya panik. Tangan kanannya mencoba menghidupkan mesin kembali. Diputarnya kunci di bawah kemudi berulangkali. Emosi mulai bersarang di benak sopir ‘super kijang’ warna biru. ‘’Ah, banjir sialan,’’ gerutu dia sambil melayangkan tinju ke arah kemudi. ‘Braak’……. Namun, klakson yang bagian tombolnya di setir tiada berbunyi.
Segerombolan bocah mulai mendekati mobil itu. Tubuh dan pakaian mereka basah. Derasnya hujan dan luapan air tiada dihiraukan. Anak-anak yang mayoritas masih duduk di bangku sekolah dasar itu mendorong mobil mogok. “Satu, dua, tiga,’’ kata salah satu di antara mereka memberi aba-aba.
Mobil itu mulai bergerak. Namun, mesinnya belum berbunyi. Anak-anak itu terus mendorong maju dengan sekuat tenaga. Setelah kendaraan berjalan sekitar 10 meter, knalpotnya mulai meraung. ‘’Yes,’ ucap salah seorang anak sebagai tanda rasa puas.
Seorang di antara mereka menghampiri sopir untuk meminta upah. Selembar uang pecahan Rp 100 ribu diberikan. Duit itu nantinya dibagi oleh anak-anak pendorong mobil. Seorang di antara mereka yang kebagian jatah adalah perempuan.
Tubuhnya kurus. Rambutnya yang lurus dipotong di atas bahu. Gendari namanya. Usianya 11 tahun. Saban hari ia tinggal di kios sekaligus tempat tinggal. Di tempat itu, bocah gadis ini hidup bersama orang tuanya. Ketika banjir dan ada mobil mogok, ia ikut melayani jasa dorong. Uang yang didapat untuk tambahan biaya sekolah.
Selain untuk uang saku, alat dan buku tulis juga dibelinya dari hasil jual jasanya itu. Saat musim hujan ia senang. Apalagi, wilayah tempat tinggalnya langganan banjir. Ketika musim kemarau pun, Ndari – panggilan gadis itu tetap bahagia. Bukan karena dibelikan sepatu baru oleh ibunya. Ia tetap bisa mengumpulkan rupiah dari upah sebagai tukang gosok pakaian keliling.
Bocah yang beranjak remaja ini sudah harus ikut banting tulang. Maklum, pendapatan Minah, ibunya dari usaha warung makan sangat minim. Saat bersamaan, kebutuhan hidup di Jakarta sangat tinggi. Perempuan desa yang pergi ke ibu kota tanpa bekal ijazah sekolah ini tidak mampu memenuhi. Apalagi, Minah juga buta aksara.
Perempuan itu nekat meninggalkan kampungnya di Ngawi untuk merubah nasib. Dari cerita, banyak saudara, kerabat dan warga desa yang berhasil kaya setelah merantau di ibu kota. Mereka kebanyakan juga minim pengalaman dan tidak mengenyam bangku sekolah.
Karena himpitan ekonomi, Ndari ingin merubah jalan hidup. Ia berusaha mengenyam pendidikan minimal hingga jenjang sekolah lanjutan tingkat atas. Sebagian waktunya harus direlakan untuk mengais rezeki. Namun, tanpa meninggalkan tugasnya sebagai siswa SD. Semangatnya tinggi.
“Mamak (panggilan anak kepada ibu) pernah meminta agar setelah lulus SD, saya tidak usah meneruskan sekolah lagi,’’ ujar Ndari kepada Imron ketika berteduh di kios untuk menunggu mobil mogok lagi. Keduanya merupakan bagian anak-anak yang memberikan jasa dorong mobil ketika banjir.
“Kamu harus berjuang Ndari,” jawab Imron singkat namun tegas. Imron tercatat sebagai siswa Sekolah Menengah Pertama. Ia ke Jakarta karena mengikuti orang tua yang bekerja serabutan. Kondisi perekonomian keluarganya juga minim. Namun, bocah laki-laki ini mampu membiayai sekolahnya dari hasil kerjanya sendiri.
“Dulu, orang tuaku juga sama seperti itu. Tapi aku nekat,’’ Imron menceritakan pengalaman pribadinya kepada Ndari.
Ndari menarik nafas panjang. Jemari tangannya memeras bagian bawah kausnya yang masih basah. “Seperti inikah perjuangan hidup?” tanya dia dalam hati.
Ia merasa tak terima dengan kenyataan yang dihadapi. Ibunya sudah menyatakan tidak sanggup menyekolahkan setelah lulus SD. Di saat seperti ini, Ndari butuh kehadiran Sutoko, ayah kandungnya. Namun, pria itu telah pergi tanpa jejak sejak anak perempuannya berusia tiga tahun.
Ndari berontak. Batinnya tetap menangis meski air matanya telah mengering. Badannya menggigil karena air hujan terlalu lama membasahi. Wajahnya pucat. Bibirnya membiru. Pandangannya pun gelap. Ia pun pingsan. Imron dan sejumlah teman membawanya ke rumah sakit.
****
“Ndari….sadar nduk”, sesenggukan suara itu terdengar sayup-sayup di telinga Ndari. Ia pun mulai membuka mata. Sosok Minah, ibunya terlihat samar-samar. Di saat kesadarannya belum sepenuhnya kembali, ungkapan hati perempuan di depannya terdengar lagi. “Kalau kamu sakit, siapa yang membantu mamak mencari uang buat makan, nduk’’.
Ndari kian nelangsa. Hatinya tercabik-cabik. Ia merasa dieksploitasi oleh ibunya untuk mencari uang. Di saat sedang terbaring sakit, Ndari tetap mendapat keluhan soal duit dari perempuan yang mengandungnya. Air mata pun meleleh di pipi gadis berkulit sawo matang itu.
Ndari butuh orang yang mengasihi. Memberikan kasih sayangnya dengan tulus seperti kebanyakan anak-anak lain seusianya. Namun, itu hanya mimpi. Saat sedang sakit, ibunya lebih mementingkan uang yang proses pencariannya dibantu Ndari.
“Maaf mak, aku belum bisa membantu. Aku sakit,’’ ucap dia lirih diiringi isak tangis. “Mamak jangan khawatir soal biaya rumah sakit. Aku punya uang di celengan, tolong nanti diambil,’’ Ndari menambahkan.
Gadis itu bertekat segera sembuh. Ia tetap ingin merubah nasib dengan segala cara yang baik. Mengamen di bus kota akhirnya dipilih untuk mencari uang. Pekerjaan itu selain mendorong mobil, membantu di warung, mencuci dan menyeterika pakaian orang lain. Ndari tumbuh di jalanan demi mencari uang. Semangatnya untuk merubah nasib tidak berubah. Kerasnya kehidupan di ibu kota membimbingnya menjadi pribadi yang keras.
Setapak demi setapak, keinginan Ndari terwujud. Ia dapat terus belajar ke sekolah menengah lanjutan pertama hingga ke SMK pelayaran. Mayoritas biaya sekolah ditopang dari hasil kerjanya sendiri. Ndari ingin membahagiakan ibunya dengan harta yang cukup.
Penulis:
Nofika Dian Nugroho
(Tinggal di Caruban, Madiun, Jawa Timur)