idealoka.com – Oktober 2010, pagi menjelang siang. Jam tangan menunjukkan hampir pukul 09.00. Ia naik satu mobil dengan seorang kolega. Perasaannya was–was, dag dig dug di dada. Mobilnya melaju ke salah satu instansi pemerintah. Instansi yang ‘basah’, kompeten di bidang pembangunan.
Bukan untuk kordinasi soal proyek, pengusaha yang satu ini juga jadi kurir dari rekan kerjanya sesama pengusaha. Bukan kurir pengantar surat, tapi kurir pengantar kertas bernama uang.
Ya, sang kurir membawa tumpukan amplop-amlop coklat berisi lembaran uang kertas. Tumpukan amplop-amplop coklat itu terkemas rapi dalam tas kresek (tas plastik). Bukan sekali, tapi dua kali ia jadi kurir dadakan. Kurir istimewa, membawa uang miliaran rupiah. “Saya dua kali mengantar uang tunai dalam amplop-amplop coklat berisi uang kertas. Masing-masing Rp500 juta, jadi total Rp1 miliar,” ujar sang kurir.
Uang itu diberikan sebagai ‘salam perkenalan’ dari seorang pengusaha lain. Pengusaha yang levelnya lebih atas, punya banyak proyek di sana-sini. Ibarat hasil pertanian, uang suap itu diberikan dengan sistem ijon, tanaman masih hijau atau belum siap panen, tengkulak sudah menebusnya. Yang ini lebih nekat. Belum ada angin belum ada hujan, belum ada lelang belum ada kegiatan, pengusaha sudah memberi ‘uang muka’ salam perkenalan.

Ia pengusaha kelas kakap. Namun sayang, usahanya dijalankan dengan cara-cara tak sah menurut aturan negara. Ia pun jadi terpidana beberapa perkara dan masih meringkuk di penjara. Perkaranya menyeret salah satu bekas petinggi partai berbasis Islam tingkat pusat di Jakarta.
Kembali ke sang kurir. Apakah sang kurir langsung menyerahkan uang ‘salam perkenalan’ ke penerima utama? Tentu tidak. Bos besar tentu punya ‘tangan kanan’, ‘tangan kiri’, anak buah, atau apalah istilahnya. “Untuk urusan teknis seperti itu bagian anak buah,” mungkin begitu dalam benak bos besar. Uang itu pun diberikan sang kurir pada dua anak buah bos besar, keduanya aparatur negara. Lokasinya di instansi pemerintah yang ‘basah’ tadi. Luar biasa dan istimewa.
‘Tangan kanan’ dan ‘tangan kiri’ bos besar yang juga kepala daerah atau penyelenggara negara itu tak hanya orang-orang di luar pemerintahan. Bahkan beberapa anak buah yang juga Pegawai Negeri Sipil (PNS) atau Aparatur Sipil Negara (ASN) ikut ambil peran jadi ‘pembantu’ bos besar. Mereka pejabat penting di satuan kerja hingga pegawai biasa. Para ‘pembantu’ ini seakan jadi bos-bos kecil di negeri yang katanya cikal bakal Nusantara.
Seperti zaman dulu sebelum terbentuk negara bernama Indonesia, raja-raja menerima upeti dari kepala daerah di bawah kekuasaan kerajaan. Upeti itu bermacam-macam, mulai dari barang hingga kepingan mata uang alat perdagangan.

‘Upeti’ di luar pajak resmi itu masih lestari hingga kini. Manusia masih melihat uang sebagai sebuah nilai. Moral menurut mereka urusan pemuka agama. Hidup bagi mereka adalah uang dan uang. “Apa yang tak membutuhkan uang,” kata mereka. Menurut para pengabdi uang, nilai moral dan etika tak berbanding lurus dengan kekayaan. Jika bermoral mereka takut miskin. Tak edan maka tak kebagian. Begitu kira-kira.
Padahal oleh orang tua kita diajarkan jujur dan tak sembrono. Ada cerita ketika si anak menemukan uang Rp1.000 di pinggir jalan dan dibawa pulang ke rumah, sang ibu marah bukan kepalang. “Kembalikan, itu bukan uangmu,” kata sang ibu. Itu pelajaran kecil dari seorang ibu. “Jangan takut miskin jika kamu jujur, Nak. Jujur dan menahan diri itu sejatinya kekayaanmu,” ucapnya.
“Banyak orang jujur dan makmur. Lebih baik hidup sederhana tapi bersahaja, daripada kaya hasil mencuri uang negara,” kata ibu berpetuah. Seperti lirik lagu Slank grup band ternama:
Hidup sederhana
Gak punya apa-apa tapi banyak cinta
Hidup bermewah-mewahan
Punya segalanya tapi sengsara
Seperti para koruptor
(Kisah ini dirangkai berdasarkan testimoni seorang kurir pengantar uang untuk salah satu kepala daerah di Jawa Timur yang sedang disidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Testimoni ini dicatat tahun 2013 dan 2018. Identitas pelaku sengaja kami samarkan demi kepentingan keamanan). (*)