idealoka.com – Mahkamah Agung (MA) akhirnya mengabulkan gugatan atas uji materi pasal 4 ayat 3 Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 20 Tahun 2018 dan pasal 60 huruf j PKPU Nomor 26 Tahun 2018.
Pasal 4 ayat 3 PKPU Nomor 20 Tahun 2018 mengatur tentang larangan terhadap eks narapidana (napi) korupsi, mantan napi bandar narkoba dan eks napi kejahatan seksual pada anak menjadi calon legislatif (caleg).
MA juga mengabulkan gugatan uji materi dan membatalkan pasal 60 huruf j Peraturan KPU Nomor 26 Tahun 2018 tentang Pencalonan Anggota DPD. Ketentuan ini juga mengatur larangan bagi mantan napi korupsi, bandar narkoba, dan kasus kejahatan seksual pada anak menjadi caleg.
Putusan MA ini jadi polemik di masyarakat. Menurut ahli hukum yang juga Dekan Fakultas Hukum Universitas Jember Nurul Gufron, keputusan MA tersebut jangan sampai menimbulkan anggapan yang salah. “Jangan dianggap MA dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) MA pro koruptor dan KPU reformis karena anti koruptor,” katanya, Sabtu, 15 September 2018.
Akademisi yang akrab disapa Gufron ini menjelaskan bahwa secara hukum, sebuah peraturan harus memenuhi dua syarat. “Pertama, peraturan itu acara formil yang harus dibuat oleh lembaga yang berwenang dan dengan cara yg prosedural. Kedua, peraturan itu secara substansi merupakan materi yang tidak bertentangan dengan peraturan di atasnya,” ujarnya.
Menurutnya, KPU tidak berwenang membuat syarat tentang calon peserta pemilu termasuk calon anggota legislatif yang ikut dalam pemilu. “KPU itu adalah tim yang dibentuk oleh negara untuk menyelenggarakan pemilu secara jujur dan adil. Tentang siapa peserta dan apa syarat-syarat peserta pemilu itu sdh ditentukan oleh UU yang dibentuk oleh Presiden dan DPR. Apalagi KPU adalah lembaga yang dibentuk berdasarkan UU,” katanya.
Gufron berpendapat KPU tak punya wewenang untuk mengatur apalagi menganulir subyek yang berhak ikut pemilu. “KPU boleh membuat aturan agar pelaksanaan pemilu fair, jujur, dan adil. Itu saja wilayah kewenangan KPU,” ujarnya.
Menurutnya, polemik aturan larangan koruptor jadi caleg itu dari pandangan hukum bukan terkait soal tidak reformis atau pro koruptor. “Tapi kita berbangsa harus taat hukum. Ini konsekuensi ajaran konstitusionalisme yang menjadi pilihan bangsa Indonesia dan UUD 1945,” ucapnya. (*)