(Tulisan hasil wawancara dan reportase ini disajikan bukan untuk mengungkit sejarah kelam bangsa Indonesia atau menyudutkan pihak tertentu, namun diharapkan jadi pelajaran untuk bersama merawat persatuan dan perdamaian)
idealoka.com – Peristiwa Madiun tahun 1948 tak bisa lepas dengan situasi sosial politik saat itu yang masih dalam rongrongan kolonial Belanda meski kemerdekaan Republik Indonesia (RI) sudah diproklamirkan pada 17 Agustus 1945. Akhirnya dilakukanlah Perundingan Renville pada Desember 1947. Indonesia waktu itu diwakili Perdana Menteri Amir Sjarifudin.
Namun hasil perundingan diatas kapal Renville di Teluk Jakarta (Batavia) itu dianggap merugikan Indonesia. Salah satu butir perjanjian yang merugiakan adalah pembagian wilayah kekuasaan dimana wilayah-wilayah yang dikuasai pemerintahan Indonesia diakui sebagai wilayah RI. Sebaliknya wilayah yang masih dikuasai Pemerintah Hindia Belanda diakui masih dibawah Belanda.
Misalnya Jawa Timur diakui milik RI sedangkan Jawa Barat masih dalam kekuasaan Belanda. Akhirnya Tentara Republik Indonesia (TRI) yang ada di Jawa Barat harus hijrah ke Jawa Tengah hingga Jawa Timur. Amir dianggap sebagai salah satu orang yang bertanggung jawab hingga akhirnya Amir mundur dan digantikan Mohamad Hatta sebagai Perdana Menteri. Sejak itu hubungan Amir dan Hatta merenggang. Amir selama ini dikenal dekat dengan partai-partai dan kelompok-kelompok sosialis-komunis. Partai dan kelompok sosialis tidak senang dengan kebijakan Hatta yang cenderung membuka diri pada negara-negara barat terutama Amerika Serikat yang berkepentingan membasmi faham sosialis di Asia.
Akhirnya Amir bersama Muso dan Soeprapto membentuk Front Demokrasi Rakyat (FDR) yang berisikan partai sosialis dan komunis termasuk Partai Komunis Indonesia (PKI). Pertentangan FDR dengan pemerintahan Soekarno-Hatta semakin meruncing hingga pecah peristiwa pemberontakan PKI Muso di Madiun.
Muso yang kembali ke Indonesia pada 11 Agustus 1948 setelah lama di Uni Soviet memanfaatkan konflik politik elit waktu itu. Dia merangkul barisan sakit hati seperti Amir. Muso juga memanfaatkan laskar dari kelompok-kelompok sosialis untuk bergabung dalam militer PKI dan bertekad mendirikan Republik Indonesia Soviet dengan pusat pemerintahan di Madiun. Salah satu kelompok yang memiliki laskar cukup besar adalah Pemuda Sosialis Indonesia (Pesindo). Bersama kelompok sosialis lainnya, mereka membentuk brigade yang dinamakan Brigade 29.
Kenapa Madiun dipilih Muso sebagai tempat pusat pergerakan? Mantan Tentara Republik Indonesia Pelajar (TRIP) di Madiun, Yusuf Musdi, mengatakan sebagai partai beraliran komunis, PKI sangat concern menggalang kekuatan dari kalangan buruh dan petani yang banyak terdapat di Madiun.
Di Madiun waktu itu terdapat bengkel dan pabrik kereta api yang kini menjadi PT Industri Kereta Api (INKA). Selain itu, di Madiun dan sekitarnya juga terdapat pabrik-pabrik gula. “Komunis itu khan menggalang kekuatan terutama dari buruh dan petani. Jadi waktu itu basis-basis buruh dikuasai baik bengkel kerata api sampai pabrik-pabrik gula,” kata Yusuf saat diwawancarai di rumahnya, 30 September 2011.
Hingga akhirnya PKI merebut pusat-pusat pemerintahan, militer, dan sektor industri di Madiun. “Waktu itu tanggal 18 September 1948, sekitar jam 2 dini hari, PKI bergerak dan menguasai pusat pemerintahan dan militer di Kota Madiun,” kata pejuang kelahiran 10 Agustus 1930 ini. Sejak itu PKI memperbanyak basis dan membunuh pejabat pemerintahan pro RI, tentara, polisi, ulama, dan tokoh masyarakat yang anti komunis. “PKI melebarkan basisnya mulai dari Madiun sampai sebagian Ngawi, Ponorogo, Magetan, dan Cepu (Bojonegoro),” tuturnya.
Kantor Residen di Madiun yang jadi pusat pemerintahan juga dikuasai dan PKI mengangkat Abdul Mutholib sebagai Kepala Residen. Sedangkan Gubernur Militer PKI dijabat Soemarsono. Pabrik Gula (PG) Rejo Agung yang berada di Jalan Yos Sudarso juga dijadikan markas militer PKI.
Sejak itu, berbagai peristiwa penculikan dan pembantaian oleh militer PKI terjadi di beberapa daerah. Setidaknya ada empat peristiwa penting yang bekasnya masih diabadikan antara lain bekas lokasi pembantaian di Monumen Korban Keganasan PKI di Desa Kresek, Kecamatan Wungu, Kabupaten Madiun; pembantaian di PG Rejosari, Kelurahan Rejosari, Kecamatan Kawedanan (dulu Gorang Gareng), Kabupaten Magetan; gerbong dan sumur bekas pembantaian di Desa Soco, Kecamatan Bendo, Kabupaten Magetan; dan Monumen Suryo yang merupakan lokasi bekas terbunuhnya Gubernur Jawa Timur pertama, M Suryo, di Desa Banjarejo, Kecamatan Kedunggalar, Kabupaten Ngawi.
Yusuf waktu itu berusia 18 tahun dan akan naik ke kelas 2 Sekolah Menengah Pertama (SMP) Pertahanan yang kini jadi SMPN 2 Kota Madiun. Sekolah ini jadi markas TRIP di Karesidenan Madiun. Militer PKI sempat menyerbu markas TRIP dan membunuh serta membawa belasan laskar pelajar tersebut. “Satu orang yang menjaga gerbang dibunuh di tempat, tujuh orang ditawan, dan tujuh lainnya dibawa dan dibunuh di Kresek. Sebagian besar melarikan diri termasuk saya,” ujar Yusuf.
Saksi sejarah lainnya, Masnan, mengakui adanya pembantaian di Desa Kresek. “Saya waktu itu selamat dan sempat lari ke wilayah Caruban (Kecamatan Mejayan) dengan melewati hutan belantara saat dikejar-kejar orang-orang PKI,” katanya. Lokasi pembantaian ini berjarak sekitar 15 kilometer dari pusat Kota Madiun. Lokasinya seperti lembah yang di sekitarnya terdapat sungai dan bukit.
Waktu itu ada rumah warga yang dijadikan tempat penawanan dan pembantaian. Kini di pinggir sungai dibangun batu semen sebagai penanda dan prasasti nama-nama korban serta patung-patung mayat bergelimpangan yang menggambarkan korban keganasan PKI. Sedangkan diatas bukit juga dibangun patung besar menggambarkan orang PKI yang menghunus parang untuk membunuh ulama. Ada 17 nama korban yang dikenali dan namanya diukir dalam tembok yang terbuat dari marmer. Mereka terdiri dari tentara, polisi, ulama, tokoh masyarakat, pejabat pemerintahan desa, kecamatan hingga wartawan.
Pemerintah dibawah kepemimpinan Soekarno-Hatta akhirnya memerintahkan Angkatan Perang Republik Indonesia (APRI) untuk menumpas militer, aktivis, dan simpatisan PKI. Salah satu pasukan yang didatangkan dalam jumlah besar adalah dari Divisi Siliwangi yang hijrah dari Jawa Barat ke Jawa Tengah dan Jawa Timur setelah Perundingan Renville.
Bersama laskar dari kelompok-kelompok Islam dan nasionalis, APRI melakukan perlawanan dan membunuh tokoh-tokoh PKI. Kekuatan pasukan pendukung Muso digempur dari dua arah. Dari barat oleh pasukan Divisi II di bawah pimpinan Kolonel Gatot Soebroto yang diangkat menjadi Gubernur Militer Wilayah II (Semarang-Surakarta) tanggal 15 September 1948 dan didukung pasukan dari Divisi Siliwangi. Dari timur diserang oleh pasukan Divisi I dibawah pimpinan Kolonel Soengkono yang diangkat menjadi Gubernur Militer Jawa Timur tanggal 19 September 1948 dan pasukan Mobile Brigade Besar (MBB) Jawa Timur di bawah pimpinan M. Yasin.
Namun beberapa tokoh PKI berhasil melarikan diri ke beberapa arah. Baru pada akhir bulan November 1948 seluruh pimpinan dan pasukan pendukung Muso dapat ditangkap. Amir Syarifudin bersama Achmad Jadau, Suripno, dan Harjono akhirnya ditembak mati di makam Ngalihan, Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah atas perintah Kolonel Gatot Subroto. Sedangkan Muso akhirnya ditembak mati saat lari ke Desa Ngumpul, Kecamatan Balong, Kabupaten Ponorogo.
Dari berbagai sumber dikatakan bahwa pimpinan PKI 1948 Muso disebut-sebut meninggal dunia setelah ditembak saat melarikan diri dari Madiun hingga Ponorogo. “Yang saya dengar, meninggalnya di Desa Ngumpul, Kecamatan Balong, Ponorogo,” tutur salah satu tokoh Nahdlatul Ulama (NU) dan Partai Golkar Ponorogo, Thobroni, September 2011. Saat peristiwa 1948, pria kelahiran 1936 ini masih berusia 12 tahun.
“Setelah mati ditembak, Muso dibawa ke rumah sakit darurat yang sekarang jadi SMPN 1 Ponorogo, setelah itu nggak tahu dibawa kemana jenazahnya,” kata tokoh budaya Reog ini. Dalam pengejaran Muso itu, selain tentara, ia menyebut nama kakak beradik Benu dan Beni, anggota laskar Hizbulloh, yang ikut mengejar Muso. Thobroni mengakui jika pengikut PKI banyak yang petani. “Para petani dijanjikan akan diberi lahan,” katanya.
Beberapa aktivis dan tokoh Masyumi di Kota Reog itu juga turut jadi korban pembunuhan PKI. Salah satu keluarga korban, Putut Sugito, mengatakan empat anggota keluarganya tewas setelah dibawa orang-orang PKI. “Yang tiga adalah paman saya dan satunya lagi paman ipar atau suami bibi saya. Semuanya memang orang-orang Masyumi. Saat itu saya masih usia enam tahun,” kata kakek berjenggot panjang kelahiran 27 Februari 1942 ini. Keempat orang itu antara lain Blabur, Kadiyan, Jumikun dan Soebandi. Keempat orang ini dibantai di sebuah desa di Kecamatan Sukorejo. Sekarang dimakamkan di Taman Makam Pahlawan (TMP) Ponorogo. (*)
- Penulis : Ishomuddin
- Fotografer : Ishomuddin