(CATATAN 1948) Gerbong dan Sumur Maut

Sumur tempat pembantaian korban oleh PKI yang dijadikan monumen di Desa Soco, Kecamatan Bendo, Kabupaten Magetan.

(Tulisan hasil wawancara dan reportase ini disajikan bukan untuk mengungkit sejarah kelam bangsa Indonesia atau menyudutkan pihak tertentu, namun diharapkan jadi pelajaran untuk bersama merawat persatuan dan perdamaian)

idealoka.com – Di Kabupaten Magetan, Jawa Timur, juga terdapat tempat bekas pembantaian dan pembuangan ratusan pejuang, ulama, tokoh masyarakat, dan warga yang dibunuh orang-orang Partai Komunis Indonesia (PKI) pimpinan Muso tahun 1948. Salah satunya di Desa Soco, Kecamatan Bendo. Di tempat yang kini dibangun monumen itu terdapat bukti gerbong maut dan sumur yang digunakan untuk mengangkut dan membuang ratusan korban. Salah satu gerbong yang dulunya digunakan untuk mengangkut tebu dan hasil gula itu kini diletakkan sebagai bukti sejarah. Bekas sumur yang dijadikan tempat pembuangan sudah ditutup dan diatasnya dibangun sejenis tugu kecil.

Prasasti nama-nama korban yang dibunuh dan dimasukkan dalam sumur di Desa Soco

Di dekat sumur juga dibangun prasasti nama-nama korban. Dari 108 korban yang diperkirakan, hanya 67 korban yang diketahui namanya. Sedangkan 41 lainnya tidak dikenali. Kawasan bekas sumur maut itu diresmikan pada 15 Oktober 1989 oleh mantan Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat dan Republik Indonesia (MPR/DPR RI) M Kharis Suhud. Ayah Kharis, Kyai Suhud, juga jadi korban saat itu. Kharis adalah tokoh militer dan politikus Indonesia yang pernah menjabat sebagai Ketua MPR/DPR pada masa Orde Baru dari tahun 1987 hingga 1992. Tahun 1982-1987 ia memimpin Fraksi ABRI dan tahun 1975-1978 ia menjabat sebagai Duta Besar RI untuk Thailand.

Prasasti peresmian monumen di Desa Soco.

Salah satu gerbong maut yang dinamakan Gerbong Kertapati (kereta kematian) juga diletakkan di dekat lokasi sumur. Menurut salah satu pelaku sejarah waktu itu, Ibrahim, para korban ditangkap dari berbagai desa di Kabupaten Madiun dan Magetan. Lalu dibawa ke kawasan Pabrik Gula (PG) Rejosari, Kelurahan Rejosari, Kecamatan Kawedanan (dulu Gorang Gareng), Kabupaten Magetan. Para korban ditempatkan di bangunan pabrik setempat dan ditembak dalam satu ruangan yang berjubel. Lalu korban dibawa ke Desa Soco, Kecamatan Bendo, yang berjarak sekitar 8 kilometer dari pabrik gula dibawah PT Perkebunan Nusantara (PTPN) XI tersebut.

Gerbong Kertapati

Mereka dibawa dengan menggunakan gerbong kereta yang biasa digunakan untuk mengangkut tebu dan hasil gula. Setelah sampai di Desa Soco, korban dibawa dan dibuang ke sebuah sumur milik warga. Beberapa orang yang masih hidup ditimbun hidup-hidup dengan batu besar.

Menurut warga yang biasa menjaga kawasan monumen setempat, Nyamin, sumur terssebut adalah sumur milik orang tuanya yang bernama Kasan Kimpul dan Dinem. “Disini saat itu ada tiga rumah yang salah satunya adalah rumah orang tua saya. Saat tahun 1948 saya masih usia lima tahun dan sumur itu sudah lama tidak dipakai karena sudah tidak berair dan ambrol,” katanya, September 2011.

Karena dibangun untuk monumen, tiga rumah warga itu dibongkar dan diganti dengan rumah baru yang kini berada di sekitar monumen. Selain bekas sumur dan gerbong maut, di kawasan ini juga dibangun sebuah pendopo yang dinamakan Pendopo Loka Pitra Dharma yang diresmikan mantan Bupati Magetan Soedarmono tepat pada peringatan Hari Kesaktian Pancasila 1 Oktober 1992. Disitu juga terdapat lapangan yang biasa digunakan untuk upacara peringatan Hari Kesaktian Pancasila.

Salah satu pejuang veteran yang jadi saksi sejarah, Ibrahim, mengatakan pembantaian oleh orang-orang PKI di daerah setempat terjadi mulai 18 September 1948. “PKI bergerak melakukan penculikan pada sekitar pukul 04.00 dini hari, malam sebelumnya mereka menggelar Tari Gambyong,” tutur veteran TNI AD ini. Markas gerakan PKI setempat berada di Desa Bogem, Kecamatan Kawedanan (dulu Gorang Gareng), Kabupaten Magetan. “Daerah Gorang Gareng memang salah satu basis PKI,” katanya. Aparat pemerintahan desa, kecamatan, ulama, tokoh masyarakat, tentara, dan polisi waktu itu jadi korban.

Mereka diculik dan dibawa ke PG Rejosari. Setelah dibantai, mayatnya diangkut dengan gerbong menuju Desa Soco dan dibuang ke dalam sumur. “PKI tahun 1948 lebih ganas dari PKI tahun 1965,” katanya. Dia berpesan agar masa sekarang hingga nanti, rakyat Indonesia tetap memegang teguh Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). “Kita harus ingat, dalam masa pembangunan seperti sekarang jangan meninggalkan pola dasar NKRI berdasarkan UUD 1945 dan Pancasila,” tegas veteran pernah bertugas selama tahun 1945 hingga 1968 ini. (*)

 

Related posts

Leave a Reply