(CATATAN 1965) Sumur “Makam” Puhrancang

Sumur yang diatasnya ditutup dan diberi nisan layaknya makam di Dusun Puhrancang, Desa Pragak, Kecamatan Parang, Kabupaten Magetan, Jawa Timur. Sumur 'makam' ini bekas tempat pembantaian tahun 1965.

(Tulisan hasil wawancara dan reportase ini disajikan bukan untuk mengungkit sejarah kelam bangsa Indonesia atau menyudutkan pihak tertentu, namun diharapkan jadi pelajaran untuk bersama merawat persatuan dan perdamaian)

idealoka.com – Kampung itu tampak hening di tengah terik matahari yang cukup menyengat. Sesekali tampak beberapa orang pulang dari sawah atau berkebun. Di balik keheningannya, kampung yang berjarak sekitar 30 kilometer di selatan pusat Kabupaten Magetan ini menyimpan hingar bingar ‘perang saudara’ tahun 1965 hingga 1966.

Penelusuran kami tiba di Dusun Puhrancang, Desa Pragak, Kecamatan Parang, Kabupaten Magetan, Jawa Timur. Tak sulit menemukan lokasi dusun ini meski karakter wilayah setempat berbukit-bukit. Akses jalan utama desa masih memadai meski aspal jalan di dusun sudah rusak.

Kami terhenti di sebuah rumah warga yang terbilang cukup bagus dibanding rumah warga yang lain. Kami pun masuk dan bertemu dengan seseorang bernama Sukiman. Beberapa menit kami berbincang dan Sukiman paham dengan apa yang sedang kami cari. Ia pun mengantar kami ke kebun di belakang rumah mertuanya itu.

Selain kandang sapi ternak, kami menemukan sebuah bangunan dari semen berbentuk kotak persegi. Panjang dan lebarnya masing-masing sekitar 1,5 meter. Tepat di tengahnya terdapat sepasang batu nisan layaknya makam. Di sekitar nisan juga tampak bekas kembang setaman yang sudah mengering.

“Di bawah nisan ini sumurnya,” kata Sukiman pada 20 September 2012. Sumur tersebut merupakan bekas tempat pembuangan orang-orang dalam tragedi berdarah tahun 1965. Cerita itu didapat Sukiman secara turun temurun. Ia mendapat cerita dari mertuanya dan mertuanya menerima kisah dari ibu dari mertuanya, Boinah. Boinah merupakan saksi sejarah namun sudah meninggal dunia tahun 2010. Sukiman tak tahu persis kapan bekas sumur tersebut ditutup dan diberi bangunan pertanda dari semen dan nisan. Sejak ia menikah dengan salah satu cucu Boinah, Lasiyani, bangunan itu sudah ada.

Menurutnya, beberapa orang kadang nyekar atau ziarah ke tempat tersebut untuk memanjatkan doa. “Mereka keluarga yang mungkin orang tua atau kakeknya jadi korban dan dibuang di sumur ini,” ucap lelaki kelahiran 1965 ini. Meski bekas pembantaian, Sukiman dan keluarganya tak pernah mengalami pengalaman seram di sekitar bekas sumur tua itu. “Sudah biasa, lewat malam-malam di sekitar sini juga nggak ada apa-apa,” katanya. (*)

 

Related posts

Leave a Reply