idealoka.com – Iklim demokrasi di Indonesia masih jauh dari ideal. Sistem perwakilan atau mandat dalam demokrasi di Indonesia lewat pemilihan umum (pemilu) masih menyisakan ‘cacat’ dan masalah. Cacat dan masalah itu datang dari tidak siapnya mental calon anggota DPR, DPRD, dan DPD maupun masyarakat sebagai pemegang mandat.
Para calon wakil rakyat masih melakukan cara-cara yang melanggar undang-undang. Pun masyarakat masih berharap ada timbal balik terutama uang dari calon wakil rakyat jika ingin dipilih. “Percuma milih kalau enggak dapat apa-apa,” begitu anggapan sebagian besar masyarakat.
Pemungutan suara Pemilu 2019 telah berlalu baik pemilihan presiden-wakil presiden dan pemilihan calon anggota DPR, DPRD, dan DPD. Para caleg beserta tim sukses dan saksi di lapangan telah menghitung jumlah suara yang didapat. Ada yang puas dan kecewa meski sudah berkorban harta.
Anggapan ‘tanpa uang susah menang’ masih jadi pegangan. Fakta itu sudah terjadi sejak dulu dan masih ‘dirawat’ hingga sekarang. Tak terkecuali di Pemilu 2019.
Informasi yang dihimpun di lapangan menyebutkan beragam cara dilakukan calon wakil rakyat untuk menghimpun simpati massa yang digadang-gadang jadi pemilih. Mulai dari penggalangan KTP calon pemilih, menebar program bantuan di luar ketentuan undang-undang hingga amplop berisi uang. Nominal uang yang disebar beragam mulai puluhan hingga ratusan ribu rupiah per orang.
“Mana ada sekarang yang tanpa uang, hampir semua pakai uang,” kata mantan penyelenggara pemilu di tingkat kecamatan di Jawa Timur yang sering menerima informasi di lapangan.
Jauh sebelum pemilu, para wakil rakyat biasanya memohon doa restu dari berbagai pihak. Mulai dari kiai atau ulama, ormas, hingga masyarakat dan sanak keluarga. ‘Doa restu’ itu ada yang pakai ‘mahar’ atau tidak sama sekali.
Berdasarkan cara penghitungan kursi dan suara yang dipakai pada Pemilu 2019, para caleg yang kemungkinan besar terpilih merasa bangga. “Terima kasih atas dukungan dan doa semuanya,” begitu isi ucapan terima kasih yang disebar salah satu caleg di grup media sosial.
Usut punya usut, caleg tersebut dikabarkan menebar uang demi meraup suara. Alhasil, suaranya diprediksi cukup untuk duduk di kursi DPRD provinsi. Anggota keluarganya yang lain pun demikian, ‘sukses pakai politik uang’ untuk duduk di kursi DPR RI dan DPRD kabupaten. “Yang saya dengar dari kawan-kawan begitu, amplopnya 100 ribuan,” kata salah satu warga di Pasuruan, Jawa Timur.
Bisa Menang Tanpa Uang
‘Nasib sial’ memang bagi caleg ‘miskin’ atau tak punya cukup uang untuk bermain money politics. Atau memang mereka takut dan tak mau pakai money politics karena menjaga integritas calon wakil rakyat. Mereka yang mengklaim tak pakai politik uang pun prihatin. Seperti dikatakan caleg perempuan untuk DPRD Provinsi Jawa Timur Dapil Jember dan Lumajang, Jawa Timur. “Ngeri Pileg sekarang, terlalu banyak yang main (uang),” katanya.
Ia pun menyayangkan integritas pengawas pemilu di semua tingkatan. “Banyak (caleg) yang mengabaikan aturan, petugas (Pengawas Lapangan/Bawaslu) pun diam,” ujarnya.
Meski mengklaim tanpa uang, suara caleg perempuan ini cukup lumayan dan peringkat kedua di dapil dan internal partainya. “Saya dapat suara 10 ribu lebih,” tutur perempuan berjilbab yang juga mantan aktivis mahasiswa ini.
Suara 10 ribu itu sebenarnya tak terlalu banyak bagi caleg tingkat provinsi. Maklum, caleg ini belum punya basis massa yang besar dan baru pertama kali jadi caleg meski punya posisi penting di ormas keagamaan wanita terbesar tingkat kabupaten. Sebagai caleg baru, ia juga tak punya ‘senjata’ program bantuan dari APBD atau APBN yang bisa dimanfaatkan caleg inkumben untuk meraih simpati dan suara calon pemilih.
Menurutnya, amplop yang disebar para caleg yang ‘bertarung’ di Dapil Jember dan Lumajang beragam. “Mulai Rp30 ribu sampai Rp200 ribu baik caleg DPRD kabupaten, provinsi, dan pusat. Yang saya dengar begitu,” katanya.
Baginya, bukan uang yang menentukan karir politikus tapi integritas dan komitmen pada konstituen. “Yang penting menjaring aspirasi, peduli, memberikan haknya bila ada, dan kepercayaan dijaga,” ujarnya.
Nah, untuk menciptakan integritas politisi tergantung pendidikan politik yang diberikan partai maupun komitmen moral para politisi.
Mereka yang ‘hobi politik uang’ mungkin umur jabatannya akan seumur kekuatan uangnya. Itu pun ada batasnya dan akan berdampak hukum pada waktunya. Sebaliknya, mereka yang mengutamakan komitmen moral dan penguatan program kerja di basis massa akan lebih awet dan dikenang sepanjang masa meski ia tak lagi jadi wakil rakyat.
Menang dalam Bayang-bayang Curang
Mereka yang menang karena uang jangan dulu berbangga dan bersuka ria. Sebab dampak hukum akan terus terbayang selama menjabat lima tahun mendatang. Meski lolos dari jerat hukum karena lemahnya UU Pemilu, sebagai manusia normal dan punya hati, bayang-bayang pidana pemilu dari suap politik itu akan terus diingat meski sudah menjabat.
Biasanya mereka yang ‘hobi politik uang’ di pemilu maka berpotensi curang atau korupsi saat menjabat wakil rakyat, bagaimanapun caranya.
Mereka yang menang karena uang sejatinya diberi cobaan oleh Tuhan dalam menjabat. Diberi nikmat yang diperoleh dengan cara curang. Dan sangat mudah bagi Tuhan untuk mencabut kuasa manusia. Tidak hanya melanggar aturan politik duniawi tapi juga etika berpolitik menurut agama. Sebaliknya, mereka yang menang tanpa politik uang akan mendapat nikmat menjabat dan mengabdi untuk masyarakat.
Bagi caleg muslim/muslimah yang menang karena uang, Ramadan bisa jadi refleksi. Mereka sejatinya telah kalah karena tak bisa menahan diri dari cara curang sebagaimana prinsip menahan diri yang digembleng dalam Ramadan. Ya, mereka kalah sebelum ‘berperang’ dalam Ramadan. (*)
(TAJUK adalah opini redaksi yang ditulis berdasarkan data, asumsi dan penilaian atas rujukan aturan hukum, informasi yang dihimpun di lapangan, dan wawancara narasumber. Identitas narasumber ada pada redaksi)