Sumani menceritakan bagaimana perjalanan hidupnya hingga menyandang gelar guru besar. “Saya tak pernah membayangkan jadi profesor, bahkan jadi dosen pun tidak,” kata Sumani mengenang masa kecilnya di Desa Prigi, Kecamatan Watulimo, Kabupaten Trenggalek. Sumani hidup dalam kesederhanaan bersama kedua orang tunya, pasangan Musadi dan Saimah yang berprofesi guru SD dan ibu rumah tangga.
Menurutnya, sebagai bocah desa, tugas menggembalakan kambing dan turun ke sawah atau kebun adalah hal rutin. Walaupun sang bapak adalah guru SD, namun jangan dibayangkan kondisi ekonomi keluarganya berkecukupan. Bahkan Sumani kerap membantu sang ibu membawa hasil bumi untuk dijual di pasar setempat. Namun keterbatasan ini tak lantas membuat anak ketiga dari empat bersaudara ini patah arang menggapai cita-cita melalui pendidikan.
“Saya harus berterima kasih kepada almarhum Bapak yang gigih memperjuangkan pendidikan bagi keempat anaknya, alhamdulillah kami semua bisa menyelesaikan kuliah. Walau untuk itu almarhum Bapak harus menjual sawah,” kenang Sumani berkaca-kaca mengenang pengorbanan sang Bapak.
Seperti umumnya anak desa saat itu, cita-cita menjadi dokter menjadi impian. Maka berangkatlah Sumani ke Malang mendaftarkan diri sebagai mahasiswa Fakultas Kedokteran di sebuah PTN. Sayangnya, Sumani gagal melewati seleksi.
“Akhirnya saya putuskan mendaftarkan diri di Universitas Widya Gama Malang di jurusan Manajemen, sebab yang terbayang itu nanti jika lulus bakal jadi manajer,” katanya dengan tertawa.
Ternyata prestasi Sumani moncer, sehingga kuliah dapat diselesaikannya dengan prestasi akademik yang bagus. Selepas lulus, Sumani diterima di sebuah perusahaan di wilayah Pasuruan. Namun setelah bekerja selama setahun, pikiran pindah pekerjaan mulai muncul. Sumani pun berkunjung ke kampusnya untuk meminta legalisir ijazah. Ketika mengunjungi kembali kampusnya inilah Sumani melihat lowongan kerja sebagai dosen di almamaternya.
“Saya lalu bergegas pulang ke Trenggalek meminta pendapat dan restu dari orang tua. Ternyata Bapak setuju jika saya jadi dosen,” tuturnya. Maka, jadilah Sumani menjadi dosen di Universitas Widya Gama Malang. Menjadi dosen artinya dituntut untuk selalu mengembangkan diri, termasuk harus melanjutkan studi.
Maka berangkatlah Sumani mengambil studi magister bahkan hingga doktor ke Universitas Airlangga di tahun 1990-an. Rupanya di jenjang S-2 dan S-3 pun prestasinya terus bersinar, terbukti dengan perolehan beasiswa dan lulus dengan nilai yang baik. Masa studi di Universitas Airlangga inilah yang mempertemukannya dengan teman kuliah yang merupakan dosen di Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Jember.
“Saat kuliah inilah saya berteman akrab dengan almarhum Pak Sarwedi dan Pak Shaleh, yang kelak juga menjadi profesor pula. Lulus dari pendidikan S-3 saya mendapatkan informasi dari beliau ada pendaftaran CPNS dosen di Universitas Jember. Maka saya pulang ke Trenggalek untuk meminta restu orang tua. Alhamdulillah saya diterima dan semenjak tahun 2005 menjadi dosen di FEB Universitas Jember,” katanya.
Menyandang gelar profesor bagi Sumani tentu sebuah kebanggaan besar tetapi juga menyiratkan tanggung jawab yang besar pula. Menjadi guru besar artinya harus lebih rajin berkarya, harus jadi contoh yang baik dan selalu menjaga tingkah laku.
“Pencapaian ini saya persembahkan bagi orang tua, merekalah yang berjasa mengantarkan saya hingga seperti saat ini. Kadang hingga kini saya masih belum percaya, bocah angon wedhus bisa jadi profesor, tentu berkat doa restu orang tua,” kata Sumani. (*)