Tantangan hidup berbangsa dan bernegara di Indonesia semakin besar. Celah intoleransi dan propaganda politik atas nama agama semakin menganga. Bagaimana media seharusnya?
Berikut ini orasi budaya Karlina Supelli dalam resepsi Ultah ke-23 Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia, 7 Agustus 2017. Karlina adalah aktivis kemanusiaan dan pengajar tetap di Sekolah Tigggi Filsafat Driyarkara, Jakarta.
(Bagian 3):
Perkenankan saya menutup paparan ini dengan sebuah harapan dan tantangan.
Harapan kepada pers, sebatas yang saya kemukakan di atas, bergerak di tataran simbolik. Itulah lapisan tempat teman-teman jurnalis bekerja dengan fakta, data, simbol dan persuasi. Kerumitan realitas tentu bukan hanya di lapisan simbolik. Seperti sudah disebut di atas, kalangan intoleran memanfaatkan teknologi digital untuk dua lapis kepentingan lainnya, yaitu perekrutan dan pengorganisasian serta penggalangan kekuatan fisik/material.
Pada lapis pengorganisasian, kelompok intoleran merekrut pengikut di semua lini yang mungkin, baik publik maupun privat; baik secara diam-diam maupun terang-terangan. Ihwal yang terang-terangan mudah dikenali. Lain halnya dengan penyusupan sembunyi-sembunyi ke pelbagai lembaga, mulai dari lembaga pendidikan, lembaga pemerintah, lembaga swadaya masyarakat sampai ke rumah tangga. Di lembaga publik, tujuannya jelas: mempengaruhi dan mengubah kebijakan. Penghimpunan kekuatan fisik/material juga bervariasi, mulai dari penggalangan dana dan senjata, sampai orang-orang yang siap merangsek jalanan dan bertempur di medan perang.
Sementara di lapisan simbolik mereka aktif dalam pertarungan gagasan, di lapisan kedua dan ketiga mereka tidak peduli dengan apa yang dikatakan media.
Tampaknya, inilah saat kita menantang pers untuk berjuang lebih keras lagi di lapis kedua dan ketiga tersebut. Selama ini pers telah menunjukkan sumbangannya yang besar dalam ikut membongkar kasus-kasus korupsi. Dapatkah teman-teman jurnalis membongkar sampai ke akar penyusupan elemen-elemen intoleran di lembaga-lembaga publik?
Pada hemat saya, semua itu penting dan perlu dilakukan. Mengapa? Intoleransi bukan saja mengancam kemajemukan agama dan aneka gejala hidup sehari-hari. Intoleransi mengancam perkembangan pemikiran, ide-ide baru, sains dan teknologi. Kita pernah dengar ada dosen di perguruan tinggi terkemuka yang menolak teori evolusi diajarkan atas dasar keyakinan agama; mahasiswa menolak konsep demokrasi, dan masih banyak contoh lagi.
Akankah kita biarkan mereka menggiring kita kembali ke Abad Pertengahan, ketika iman berdiri megah tanpa akalbudi dapat mengkritik kekeliruan tafsirnya?
***
Di sekitar kita bertebaran pedagang-pedagang mimpi. Mereka menawarkan mimpi akan kehidupan kekal dengan menghancurkan kehidupan fana di sini dan sekarang. Mimpi-mimpi itu membuai dan karenanya mudah diperdagangkan. Makelarnya banyak, mulai dari tokoh agama, para konsultan politik, partai politik sampai akademisi yang bertualang ke mana angin membawa.
Tapi saya percaya, dan banyak di antara kita masih percaya. Kita menghendaki mimpi besar. Mimpi akan hidup bersama dalam kekayaan realitas yang bhineka. Mimpi ini tidak bisa diperjualbelikan. Mimpi ini tidak dapat mentoleransi intoleransi. Tidak ada hidup bersama yang tidak majemuk. Mustahil ada kemajemukan bila intoleransi meraja rela.
Jauh sebelum ada Indonesia, Siti Soendari menyampaikan mimpi besar itu ke hadirin dan hadirat Kongres Perempuan Pertama, 22 Desember 1928. Perkenan saya mengedepankannya kembali malam ini:
Pantaslah kita lebih dahulu memperhatikan cita-cita kita bersama … yaitu hendak membangun Indonesia Raya. Marilah Tuan biarkan pikiran naik ke udara dan memandang ke bawah … tergambarlah Indonesia seperti taman bunga yang luas sekali, tiap pulau terbentang seperti petak tempat tumbuhnya bunga. Taman itu tidak akan selamat sempurna kalau yang tumbuh hanya kembang melati … Bukankah kita menghendaki membuat bunga rampai.
Kepada AJI, saya haturkan selamat ulang tahun. Marilah kita memeluk, menghidupkan, merawat dan menjelmakan mimpi besar ini. Terima kasih.
Jakarta, 7 Agustus 2017
Karlina Supelli.
- Disampaikan dalam resepsi Ulang Tahun ke-23 Aliansi Jurnalis Independen Indonesia
Sebagian dari sumber kepustakaan bagi tulisan ini dapat dilihat dalam kajian yang lebih mendalam di Karlina Supelli, “Dua Jalan Percobaan menanggapi Fundamentalisme Agama,” Orientasi Baru: Jurnal Filsafat dan Teologi, Vol. 25, No. 2 (Oktober 2016): 199-220.