CERPEN: Tamasya Menunggu Kereta

idealoka com – Betapapun terburu-burunya dirimu, kau tak akan sanggup menahan laju palang pembatas di sebuah area perlintasan kereta api ketika ia telah menghalangi pengguna jalan untuk lewat, bahkan jika kau tidak peduli pada koar risiko kecelakaan yang sedang didengungkan oleh semacam pekak nada perempuan dari sebuah pengeras suara di sana, dan kau sungguh berkeinginan mencoba menerobos. Palang tetap akan menutup diri bagaimanapun. Sama sepertimu, pintu itu atau petugas di belakang gerakannya juga pasti tidak akan peduli pada apa pun kegundahan yang saat ini sedang kau rasakan sehingga buru-buru, meski kau pun juga berpikir bahwa siapa saja pasti tak akan memahaminya.

Kabar seram mengenai istrimu sepertinya terlampau datang lebih cepat dari perkiraan. “Lhe, istrimu masuk ICU, tidak sadar. Kata dokter, ginjalnya sudah tidak berfungsi, ada selang di hidungnya,” tulis mertuamu dalam sebuah pesan Whatsapp, pagi tadi.Pengalaman hidupmu sudah cukup untuk bisa menyimpulkan apa yang sebenarnya terjadi: kritis. Rasa takut setengah matilah yang kemudian mendorongmu bergegas mengendarai sepeda motor, bermaksud menempuh perjalanan secepat-cepatnya agar segera sampai di rumah sakit tempat istrimu dirujuk. Perjalanan itu sebenarnya secara normal ditempuh selama tiga jam, tapi kau ngebut seolah bisa membuatnya dua jam lebih cepat.

Dari tempat kau tinggal -yang selama ini menjadi alasanmu meninggalkan istri sakit-sakitanmu demi kewajiban nafkah- sebenarnya telah lebih dulu hujan deras. Bukankah itu yang tadi menganggumu lalu membuatmu menggerutu? Meski tak ayal kau pun menerjangnya. Lalu sekarang mendapati diri tertahan sebuah pintu pelintasan kereta keparat. Barangkali pintu itu sebenarnya hanya akan menahanmu beberapa menit. Pikiranmu sendiri yang agaknya membuatmu kesal, merasa jika itu bakal terasa sangat lama.

Konyolnya kereta api sialan ternyata juga tidak kunjung terlihat akan melintas. Jalur itu ditutup dengan rel dalam keadaan sepi. Pikirmu pasti bodoh jika mau balik putar haluan mencari jalan lain. Duh, apa kegelisahanmu semakin menjadi-jadi? Kau yang kemudian mencoba menelepon mertuamu sembari menunggu juga tidak kunjung memeroleh balasan. Tetapi kau tampak bisa tenang menghadapi kesialan itu, diam sambil seperti sedang mengucap mantra aneh, begumam sesuatu tanpa suara. Apa itu Doa?

Berasa suatu keunikan jika melihatnya. Kau yang biasa berperangai buruk rupanya sanggup menjadi bak seorang lulusan pesatren. Padahal siapa pun tahu ngajimu tidak pernah tuntas, kecuali berulang kali membaca buku Iqro di masa kecilmu. Apalagi hampir semua orang di kota tempatmu tinggal sepakat tentang ulahmu yang penuh muslihat. Kau juga kan yang di sela kerja kantormu ternyata ikut membantu menggunakan segala cara untuk sebuah partai politik agar menang di pemilu? Usiamu boleh muda, tapi sikap curangmu selaiknya bocah yang belum tahu nama benar mana salah. Dasar, sudah bapak-bapak tapi nakal.

Kendati demikian masih ada segelintir orang yang tahu bagaimana kau sebenarnya tumbuh sebagai ayah muda yang baik minta ampun. Mereka yang mengataimu berperangai buruk itu hanya belum tahu jika uang haram hasil persekongkolanmu tidak pernah kau kirimkan ke rumah untuk menjadi nutrisi bagi anakmu yang masih bayi, atau jadi suplemen bagi istrimu yang sakit-sakitan. Lihatlah sendiri, kau yang kadang berlaku begundal di jalur bawah tanah politik itu masih bisa menjadi ayah yang baik bagi keluargamu.

Jadi jangan terlalu menganggap jika kesukaran yang kali ini menimpamu adalah kutukan, meskipun, di waktu yang bisa jadi saat-saat penghabisan untuk istrimu engkau malah terhambat dirundung hujan dan memurungi kesialan menunggu kereta api tak kunjung melintas (yang menghalangimu bergegas, yang kau maki-maki karena memperkeruh masalahmu), itu juga sebenarnya sangat pantas kau terima sebagai akibat dari dosa-dosamu. Tapi lihatlah lagi, kau justru masih mampu menunjukkan lagak baik di sekelumit menjengkelkan tersebut, dengan bersikap patuh kepada undang-undang negara untuk tidak nekat menerobos. Itu taubat? Mau berubah kah?

Tetapi telanjur jika mau menyesalinya. Di siang terik yang kini kau telah tertahan di sebuah perlintasan kereta, dengan tiba-tiba penunggu-penunggu kereta lewat lain mampir di sebelahmu. Kau tidak sendirian lagi sekarang. Banyak pengendara motor disampingmu saling berjajar serta mobil-mobil di belakangmu antri beriringan. Lalu matamu pun tampak linglung tidak bisa berhenti menyelidiki sekitar. Barangkali kau ingin mencari orang berperangai serupa (menggerutui hambatan palang pintu kereta api).
Kau mengamati. Ada sejumlah pria berjaket tebal berpenutup muka dengan tangan perempuan yang mereka bonceng tampak gelisah memegangi paha sang pria di depannya itu, ada pula seorang gadis mungil tepat sebelah kananmu duduk di antara kemudi dan jok sepeda motor dan diapit kedua paha orangtuanya.

__

Sebuah sirine berbunyi nyaring. Deru gesekan antara rel dan roda kereta terdengar dari kejauhan. Kepala lokomotif tampak semakin lama semakin membesar. Si kereta api yang menurutmu keparat akhirnya melintas. Di garis waktu tersebut engkau dan sang gadis itulah yang paling antusias memandangi para penumpang yang ada di balik jendela kereta api.

Kereta dari arah timur itu panjang, cukup lama untuk tampak di pandangan mata. Mungkin kalian sama-sama bosan menunggu, tetapi si gadis melambaikan tangan, tersenyum sambil berteriak, “Hallo,” kepada para penumpang dengan wajah sumringah, sementara kau memilih memasang wajah murung. Belakangan kau menduga jika seorang pria yang mengapit anak gadis itu ternyata bukan orang tuanya setelah sang pria bertanya, mengapa gadis itu begitu riang. “Ada papa dan mama di sana, mereka mau berangkat naik kereta,” ungkap gadis itu lirih, mendongak ke atas menunggu ekspresi sang pria, tapi cukup nyaring untuk terdengar sampai telingamu.

Si pria pengapit gadis itu lantas lebih penasaran dengan apa yang si gadis ungkapkan. Ia tertegun, dan bertanya kembali kapan orang tua gadis itu akan pulang. “Mereka tak akan pulang, kecelakaan kereta membunuh papa dan mama, tapi aku melihat papa dan mama di kereta itu, mereka membalas sapaanku,” terang si gadis sekali lagi diikuti senyum girang, lambaian tangan, dan teriakan ‘hallo’ yang cukup nyaring sepanjang waktu ketera api itu melintas. Mungkin heran atau merasa bagaimana, tampaknya si pria itu mengalah, menampakkan wajahnya jadi serupa mengiringi kegembiraan si gadis.

Sekejap kau berpikir mungkin sang pria adalah orang tua asuh yang baru memungutnya dari panti asuhan. Tapi sedetik kemudian engkau tampak enggan lagi menduga-duga, karena pikiranmu beralih tak peduli kepada apa pun kecuali menunggu si ular besi sialan di depanmu segera hilang dari pandangan mata, demi meneruskan usaha menjumpai istrimu, yang wajib ditunaikan dengan penuh kesegeraan.
Syahdan, perilaku si gadis ternyata menarik banyak perhatian. Orang-orang sekitar, para pengendara motor dan mobil yang berjibun ikut menunggui kereta itu, memandangi mimik muka kalian berdua. Kau dengan murung anehmu, si gadis dengan sapa sumringahnya.

Aku kebetulan turut melihat tamasyamu itu. Percayalah, serupa apa pun kau bersikap acuh pada kami yang mengamati kalian, engkau tetap terlihat menyedihkan.
___

Menurutmu ada yang lebih buruk daripada menggerutui suatu hal apes sementara orang lain bisa menerimanya dengan begitu gembira?

Penulis:

Danang Argananta

(Tinggal di Trawas, Mojokerto, Jawa Timur)

Related posts

Leave a Reply