KPU dianggap tidak menjalankan tugasnya sebagai penyelenggara yang independen. Bawaslu juga dianggap lemah karena berisi kroni penguasa dan partai politik sehingga tumpul dalam penindakan pelanggaran pidana pemilu yang melibatkan politisi dan pasangan calon presiden dan wakil presiden.
Menurut Bivitri, film ini sebuah rekaman sejarah tentang rusaknya demokrasi negara saat kekuasaan disalahgunakan secara terbuka oleh orang-orang yang dipilih melalui demokrasi itu sendiri.
BACA: Jadwal dan Tahapan Pemilu 2024
“Bercerita tentang dua hal. Pertama, tentang demokrasi yang tak bisa dimaknai sebatas terlaksananya pemilu, tapi bagaimana pemilu berlangsung. Bukan hanya hasil penghitungan suara, tetapi apakah keseluruhan proses pemilu dilaksanakan dengan adil dan sesuai nilai-nilai konstitusi. Kedua, tentang kekuasaan yang disalahgunakan karena nepotisme yang haram hukumnya dalam negara hukum yang demokratis,” katanya.
Bivitri mengingatkan sikap publik menjadi penting dalam sejarah ini. Apakah praktik lancung ini akan didiamkan sehingga demokrasi yang berorientasi kekuasaan belaka akan menjadi normal yang baru?
“Atau kita bersuara lantang dan bertindak agar republik yang kita cita-citakan terus hidup dan bertumbuh. Pilihan Anda menentukan,” katanya.
BACA: Rekam Jejak Calon Anggota DPD Jatim, Dugaan Asusila hingga Suap
Pesan yang sama disampaikan Feri. Menurutnya, esensi pemilu adalah rasa cinta tanah air. Menurutnya, membiarkan kecurangan merusak pemilu sama saja merusak bangsa ini.
“Dan rezim yang kami ulas dalam film ini lupa bahwa kekuasaan itu ada batasnya. Tidak pernah ada kekuasaan yang abadi. Sebaik-baiknya kekuasaan adalah meski masa berkuasa pendek, tapi bekerja demi rakyat. Seburuk-buruknya kekuasaan adalah yang hanya memikirkan diri dan keluarganya dengan memperpanjang kuasanya,” kata Feri.
Di akhir video, masyarakat diimbau melaporkan kecurangan pemilu melalui platform https://kecuranganpemilu.com/ atau nomor WA 081212235959.