idealoka.com (Mojokerto) – Di Trowulan, Mojokerto, Jawa Timur, terdapat makam sesepuh wali songo generasi pertama abad ke-15 yang melahirkan wali songo generasi kedua di Jawa abad ke-18, siapa beliau?
Selain situs-situs bersejarah peninggalan agama dan budaya Hindu dan Budha, di Trowulan, Kabupaten Mojokerto, Jawa Timur, juga terdapat situs makam Islam zaman kerajaan Majapahit abad ke-13 hingga 15 Masehi.
Kompleks pemakaman Islam zaman Majapahit itu berada di Troloyo yang berada di Dusun Sidodadi, Desa Sentonorejo, Kecamatan Trowulan. Jaraknya sekitar 700 meter di selatan Museum Majapahit. Dari puluhan makam yang ada, yang paling dikenal dan dikeramatkan adalah makam Syekh Djumadil Kubro.
Menurut keterangan dari berbagai sumber, Djumadil Kubro merupakan salah satu wali sembilan atau wali songo generasi pertama yang mendapat misi dari Kesultanan Turki abad ke-14 Masehi. Djumadil Kubro termasuk sesepuh dari wali songo generasi kedua yang berdakwah di Jawa pada abad ke-15 dan 16 Masehi.
Djumadil Kubro dipercaya sebagai cucu ke-18 Nabi Muhammad dari jalur putri nabi, Fatimah Az Zahra. Garis keturunan Djumadil Kubro dengan Rasulullah tertera dalam skema keturunan yang dipampang di cungkup makamnya di Troloyo.
Makam Syekh Djumadil Kubro ramai dikunjungi peziarah khususnya di makam Jum’at manis atau Jum’at legi dalam kalender Jawa. Tak hanya Jum’at legi, peziarah juga banyak yang datang selama bulan Ramadan. “Saya hampir seminggu sekali berziarah untuk mencari berkah melalui doa dengan perantara orang alim seperti Syekh Djumadil Kubro,” kata salah satu peziarah asal Mojokerto, Bahrun.
Para peziarah biasanya memohon doa pada Alloh agar hajat mereka dalam segala hal terkabul dengan perantara orang saleh seperti Djumadil Kubro meski sudah meninggal dunia. “Jika anak-anak saya akan ujian, saya sering berdoa di sini,” kata Bahrun.
Sejumlah rombongan peziarah juga datang dari luar Jawa Timur. Mereka membaca tahlil dan surat Yasin serta salawat pada Nabi Muhammad. “Kami kebetulan mengikuti ziarah wali dan salah satu yang kami datangi makam Syekh Djumadil Kubro,” kata Mursid, salah satu peziarah asal Kudus, Jawa Tengah.
Ia berdoa dan berharap sehat sekeluarga dan diberi rejeki yang berkah. “Sehat dan rejeki yang berkah itu kita gunakan untuk ibadah,” katanya. Selain ziarah di makam, para peziarah biasanya juga mengerjakan salat lima waktu maupun salat malam di masjid yang berada di barat makam.
Arkeolog yang juga bekas Kepala Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Trowulan Aris Soviyani meyakini Djumadil Kubro dimakamkan di Trowulan tepaynya di Troloyo. Ini dibuktikan dengan nisan-nisan makam bercorak Islam meski tidak ada inskripsi yang menyebut nama orang yang dimakamkan.
“Dari yang saya pelajari, beliau lama tinggal di Trowulan dan cara berdakwahnya damai dan santun sehingga bisa diterima kalangan istana kerajaan,” kata Aris.
Djumadil Kubro memiliki tiga putra yang juga berdakwah Islam di Asia Tenggara termasuk Indonesia. Dari ketiga anaknya, lahir cucu dan cicit yang jadi wali songo generasi kedua diantaranya Sayyid Ali Rahmatullah atau Raden Rahmat (Sunan Ampel), Sunan Giri (Raden Paku), Sunan Bonang, Sunan Drajad, dan Sunan Kudus.
Karena melahirkan wali songo generasi kedua, masyarakat menyebut Djumadil Kubro dan pemakaman Troloyo sebagai punjer atau pusat lahirnya wali songo generasi kedua yang lebih dikenal.
Luas kompleks pemakaman Troloyo sekitar dua hektar dan terdiri dari beberapa kelompok makam dan petilasan. Makam Djumadil Kubro bersama keturunan dan pengikutnya berada di gedung tertutup berukuran 30 x 25 meter di tengah kompleks pemakaman.
Djumadil Kubro disebut-sebut sebagai tokoh paling berpengaruh dalam penyebaran agama Islam di Pulau Jawa abad ke-14 dan 15 masehi khususnya di Trowulan, ibukota Kerajaan Majapahit. Namun namanya sama sekali tak disebut dalam prasasti atau kitab sastra yang ada di masa Majapahit.
Menurut Adrian Perkasa, peneliti yang juga penulis buku “Orang-orang Tionghoa & Islam di Majapahit”, hanya tulisan atau catatan saudagar Tiongkok yang menggambarkan pengaruh Islam di Majapahit yang dibawa bangsawan maupun pedagang dari Tiongkok, Gujarat (India), Timur Tengah, dan Asia yang beragama Islam.
Salah satunya adalah catatan Ma Huan berjudul Ying–Yai Sheng–Lan atau Negara-negara di Seberang Lautan yang ditulis tahun 1416 Masehi. “Melalui jalur perdagangan itulah, Islam masuk ke Majapahit,” kata dosen Ilmu Sejarah Universitas Airlangga (Unair) ini.
Menurut Adrian, bangsawan Majapahit membutuhkan barang-barang mewah yang diperdagangkan pedagang Tiongkok dan Timur Tengah seperti emas dan kerambah keramik. Selain pedagang, ulama Timur Tengah dan Asia juga datang ke Jawa untuk menyebarkan Islam termasuk di lingkungan kerajaan Majapahit.
“Sebagai kerajaan dengan kekuasaan besar, Majapahit kala itu menjalin hubungan baik dengan sejumlah kerajaan di Asia dan Majapahit semakin terbuka dengan pengaruh luar termasuk Islam,” kata Adrian. Bahkan pedagang maupun ulama yang menyebarkan Islam diberikan keleluasaan tinggal di Trowulan hingga membentuk kelompok masyarakat Islam. Dari sinilah, pengaruh Islam masuk di lingkungan istana kerajaan Majapahit.
Syekh Djumadil Kubro termasuk ulama yang menyebarkan Islam di kalangan bangsawan Majapahit. Dalam beberapa sumber, Syekh Djumadil Kubro disebut-sebut bernama lengkap Syekh Jamaluddin Al Husain Al Akbar yang berasal dari Kota Samarkand, Uzbekistan, Asia Tengah.
Haul Syekh Djumadil Kubro atau disebut Grebeg Kubro yang diperingati setiap tanggal 15 Muharram. Warga berebut gunungan yang diarak menuju makam Djumadil Kubro.
Tidak diketahui kapan Syekh Djumadil Kubro datang ke Jawa. Hanya disebutkan beliau wafat tahun 1376 Masehi atau 15 Muharram 797 Hijriyah sehingga setiap tanggal 15 Muharram diperingati sebagai haul atau peringatan kematiannya. Ia diperkirakan hidup diantara dua raja Majapahit yaitu pada masa pemerintahan Tribhuwana Wijaya Tunggadewi dan Hayam Wuruk. (*)
Penulis & Foto: Ishomuddin