Jaksa Ajukan Memori Kasasi Perkara Penganiayaan Mantan Jurnalis Radar Madura

Aksi jurnalis memperingati Hari Kebebasan Pers Sedunia di Jember, Jum'at, 3 Mei 2019. (Dok. AJI Jember)

idealoka.com – Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejaksaan Negeri Bangkalan resmi mengajukan memori kasasi perkara penganiayaan dan penghambatan kerja pers yang menimpa mantan jurnalis Radar Madura, Ghinan Salman.

“Memori kasasi sudah kami serahkan ke PN (Pengadilan Negeri) Bangkalan hari Jum’at (17 Mei 2019),” kata JPU Angga Ferdian, Selasa, 21 Mei 2019.

Read More

Memori kasasi tersebut akan diteruskan oleh PN Bangkalan ke Mahkamah Agung (MA) sebagai pengadil terakhir atas putusan bebas yang terjadi di pengadilan tingkat pertama.

Memori kasasi itu berisi beberapa hal yang mengkritisi putusan majelis hakim PN Bangkalan yang membebaskan terdakwa Jumali pelaku penganiayaan dan penghambatan kerja pers yang dialami Ghinan. Majelis hakim yang dipimpin Sri Hananta membebaskan Jumali dalam sidang yang digelar 29 April 2019.

Rekonstruksi pada 23 September 2016 terkait penganiayaan pada mantan jurnalis Radar Madura, Ghinan Salman. Tampak terdakwa Jumali saat mencekik Ghinan. (Dok. Radar Madura)

Majelis hakim menyatakan terdakwa tidak terbukti bersalah melakukan tindak pidana penghambatan atau penghalangan kerja pers yang diancam dengan pidana penjara dalam pasal 18 ayat 1 juncto pasal 4 ayat 2 dan 3 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.

“Intinya menurut kami selaku JPU, hakim tidak obyektif dalam menerapkan peraturan perundang-undangan dalam perkara tersebut. Salah satunya keterangan ahli dari Dewan Pers yang diabaikan,” kata Angga.

Perkara ini bermula saat Ghinan yang waktu itu bertugas sebagai jurnalis Radar Madura mendatangi kantor Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (PUPR) Bangkalan untuk mewawancarai kepala dinas setempat, 20 September 2016. Namun kepala dinas setempat tak ada di tempat dan Ghinan mendengar suara permainan tenis meja yang dimainkan sejumlah pegawai dinas setempat saat jam kerja.

Dengan insting jurnalisnya, ia pun memotret peristiwa tersebut. Tahu ada yang memotret, sekitar 10 orang pegawai setempat mengeroyok Ghinan, memukul, dan mencekik lehernya. Setelah dilaporkan ke Kepolisian Resor Bangkalan, dari 10 nama yang diduga ikut menganiaya korban, hanya satu yang ditetapkan tersangka hingga perkara ini putus di pengadilan tingkat pertama.

Sejak 16 Februari 2015 Ghinan jadi jurnalis Radar Madura yang bertugas di Bangkalan dan sejak 27 Juni 2018 berhenti dari Radar Madura dan menjadi jurnalis kompas.com di Surabaya.

Ghinan berharap masih ada keadilan dalam kasus-kasus kekerasan pada jurnalis termasuk yang dialaminya. “Semoga hasilnya nanti memenuhi rasa keadilan untuk saya, para jurnalis yang berjuang memperoleh keadilan, dan kawan-kawan yang kerja bersama untuk menegakkan UU Pers,” kata Ghinan yang juga anggota Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Surabaya.

Perkara ini berjalan 2,5 tahun lebih sejak disidik September 2016. Dalam perkara ini Ghinan didampingi AJI Surabaya dan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Lentera, Surabaya.

“Semoga memori kasasi tersebut bisa dikabulkan oleh MA dengan putusan yang adil,” kata anggota tim kuasa hukum dari LBH Lentera, Yonahes Dipa Widjaja. Pihaknya berencana menyusun amicus curiae. Amicus curiae artinya sahabat pengadilan atau pihak yang merasa berkepentingan terhadap suatu perkara dan akan memberikan pendapat hukumnya kepada pengadilan.

Jurnalis di Jember memperingati Hari Kebebasan Pers Dunia, 3 Mei 2019. (Dok. AJI Jember)

Ahli yang ditunjuk Dewan Pers dan telah memberikan keterangan dalam pengadilan perkara ini, Herlambang P. Wiratraman, mengimbau semua pihak agar mengawal kasus ini. “Mari kita mengawal kasus ini hingga akhir di MA karena Ghinan sebagai satu simbol perjuangan kebebasan pers di indonesia saat ini,” katanya.

Ia juga mengimbau kalangan akademisi melakukan eksaminasi atas putusna PN Bangkalan dalam perkara ini. “Perguruan tinggi hukum perlu mendorong eksaminasi putusan dan menjadikan contoh putusan yang tidak bisa menegaskan tindakan pelanggaran hukum dalam pasal 18 ayat 1 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers,” kata Ketua Pusat Studi Hukum HAM dan dosen Fakultas Hukum Universitas Airlangga (Unair) ini. (*)

Related posts

Leave a Reply