Menghitung Beban Warga Lakardowo akibat Salah Kelola Limbah B3 PT PRIA

DEMONSTRASI - Warga Desa Lakardowo, Kec. Jetis, Kab. Mojokerto, menggelar demonstrasi di Kantor Gubernur Jawa Timur, 27 Agustus 2016 lalu. Mereka mendesak pemerintah membongkar timbunan limbah B3 di dalam area pabrik PT PRIA. Dok: Ecoton

Pelanggaran PT PRIA: Penimbunan hingga Jual Limbah B3 ke Warga

PT PRIA merupakan salah satu dari 14 perusahaan milik Tenang Jaya Group yang bergerak di bidang jasa pengolahan, pemanfaatan, pengumpulan, dan pengangkutan limbah B3. 

Read More

PRIA merupakan perusahaan pengelola limbah B3 pertama di Jawa Timur yang berdiri tahun 2010. Perusahaan atau mitra yang memanfaatkan jasa PT PRIA tidak hanya dari Jawa Timur, tapi juga dari Bali termasuk rumah sakit. 

Dikutip dari website PT PRIA, jenis usaha dan izin yang dimiliki antara lain pengolahan, pemanfaatan, pengumpulan, dan pengangkutan limbah B3. 

Pada tahun 2010, PT PRIA mulai membangun lahan yang akan digunakan untuk pabrik di perbatasan dua desa, Desa Lakardowo dan Desa Sidorejo, Kecamatan Jetis, Kabupaten Mojokerto. 

Menurut warga, lahan yang dibeli oleh PT PRIA dulunya hanya seluas sekitar 0,5 hektar dan konturnya berupa jurang dengan kedalaman sekitar 30 meter. Lahan tersebut masih dikeruk lebih dalam lagi. Untuk meratakannya, PT PRIA menimbun berbagai jenis benda atau barang padat dan cair yang ternyata tergolong limbah B3. 

“Dulu, warga nggak paham kalau barang-barang tersebut termasuk limbah B3. Warga tahunya akan ada pabrik pembuatan batako dan kertas,” kata Ketua Perkumpulan Penduduk Lakardowo (Pendowo) Bangkit, Nurasim, ditemui di rumahnya di Dusun Sambi Gembol, Desa Lakardowo, Minggu, 25 September 2022. 

Warga semula tak curiga dengan barang atau benda yang ditimbun di lahan tersebut. “Namun saya mulai curiga ketika tanaman dan pohon yang ada di sekitar area yang ditimbun itu layu dan mati. Saya mulai berpikir ini sudah tidak benar,” katanya. 

Selain menimbun benda yang tergolong limbah B3 tanpa izin, PT PRIA juga membiarkan warga memungut benda atau barang tersebut, padahal mengandung bahan yang berbahaya dan beracun. 

“Warga nggak tahu kalau itu berbahaya, mereka senang saja karena dibiarkan memungut barang-barang bekas di situ,” kata Nurasim.

Barang yang dipungut warga seperti tong bekas, selimut bekas, baju bekas, sarung tangan bekas, obat nyamuk bakar, dan sebagainya. Barang bekas yang dipungut warga termasuk limbah medis atau barang bekas pakai rumah sakit. “Bahkan ada yang menemukan potongan tangan dan lengan manusia,” kata Nurasim. 

Penimbunan limbah B3 pada tahun 2010 itu juga diakui Heru Siswoyo, warga yang pernah jadi pekerja di PT PRIA. “Saya dulu juga ikut mengawasi, biasanya penimbunan dilakukan malam atau dini hari,” kata Heru.

Setelah tahu bahwa yang ditimbun adalah limbah B3, Heru memutuskan berhenti sebagai pekerja di PT PRIA. “Saya berhenti karena tidak sesuai dengan hati nurani,” katanya.

Tidak hanya Nurasim dan Heru yang mengetahui penimbunan limbah B3 oleh PT PRIA. Pelanggaran hukum pada lingkungan ini juga diketahui mayoritas penduduk yang tinggal di sekitar pabrik PT PRIA. 

Untuk membuktikannya, penulis menyebar kuesioner pada warga empat dusun di Desa Lakardowo di sekitar pabrik PT PRIA antara lain Dusun Sumber Wuluh, Sambi Gembol, Kedung Palang, dan Selang. Survei dilakukan 25 September hingga 4 Oktober 2022. Dari 52 responden, mayoritas mengaku tahu penimbunan limbah B3 di dalam area yang akan dibangun pabrik PT PRIA tahun 2010.

Jenis benda atau barang yang ditimbun di antaranya limbah batu bara, limbah medis, limbah cair, obat nyamuk bakar, popok bayi, makanan kedaluwarsa, abu aluminium, dan sebagainya. Limbah medis yang ditimbun di antaranya jarum suntik, infus, dan sarung tangan karet. 

Selain penimbunan limbah B3 tanpa izin tahun 2010, sejumlah karyawan PT PRIA terbukti telah menawarkan dan menjual limbah batu bara pada warga untuk pengurukan lahan yang akan dibangun rumah maupun jalan rusak. 

Lokasi yang telah diuruk dengan limbah batu bara yang didatangkan PT PRIA termasuk masif dan tersebar di banyak lokasi di Desa Lakardowo dan Sidorejo. 

Hal ini terungkap dalam materi persidangan gugatan perdata yang pernah diajukan perkumpulan Pendowo Bangkit ke Pengadilan Negeri (PN) Mojokerto tahun 2020. Pada halaman 7 dan 8 putusan perkara perdata Nomor 4/Pdt.G/LH/2020/PN.Mjk itu disebutkan lokasi dan jumlah pengurukan limbah batu bara yang dibeli warga dari makelar yang juga karyawan PT PRIA.

Dusun Jumlah Lokasi
Dusun Sumber Wuluh, Desa Lakardowo 26 lokasi
Dusun Kedung Palang, Desa Lakardowo 9 lokasi
Dusun Selang, Desa Lakardowo  8 lokasi
Dusun Lakardowo, Desa Lakardowo 6 lokasi
Dusun Greol, Desa Sidorejo 5 lokasi
Dusun Sambi Gembol, Desa Lakardowo 4 lokasi
Sumber: Putusan Perkara Perdata Nomor: 4/Pdt.G/LH/2020/PN.Mjk 

 

Dalam putusan perkara tersebut juga disebutkan beberapa orang yang pernah membeli limbah batu bara dari karyawan PT PRIA dengan harga antara Rp150 ribu dan Rp250 ribu per satu bak truk (rit) selama tahun 2012 hingga 2015. 

Sedangkan dalam kuesioner yang dilakukan penulis pada 52 responden, 4 orang mengaku pernah membeli limbah batu bara yang ditawarkan karyawan PT PRIA untuk meratakan lahan yang akan dibangun rumah maupun jalan rusak. Bahkan ada yang sampai membeli 4 bak truk (rit) dengan harga Rp150 ribu per bak. 

LIMBAH BATU BARA – Warga menggali urukan limbah batu bara di halaman dan ruang dalam rumah Jamak Udin, warga Dusun Kedung Palang, Desa Lakardowo, Kec. Jetis, Kab. Mojokerto, saat kunjungan Komisi VII DPR RI, 24 November 2016. Urukan limbah batu bara tersebut sudah dibersihkan dan dievakuasi oleh Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Jawa Timur. Foto: Ishomuddin

Penimbunan limbah B3 tanpa izin dan penjualan limbah batu bara pada masyarakat tersebut melanggar Undang-Undang (UU) Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan yang direvisi dengan UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja dan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 2 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup

Limbah B3 tak semestinya diperjualbelikan ke masyarakat karena mengandung bahan berbahaya dan beracun. Selain ke lingkungan, dampaknya juga bisa ke manusia. 

Pelanggaran tersebut jadi perhatian banyak pihak. Mulai dari Lembaga Kajian Ekologi dan Konservasi Lahan Basah atau Ecological Observation and Wetland Conservation (Ecoton), hingga Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK), Komisi VII DPR RI Bidang Lingkungan Hidup, dan Komnas HAM.

Atas rekomendasi DPR, Kementerian LHK akhirnya menunjuk tim auditor independen untuk melakukan Audit Lingkungan Wajib Ketidaktaatan pada PT PRIA selama 2016-2017. Salah satu rekomendasinya adalah PT PRIA dan Kementerian LHK melalui Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Jawa Timur melakukan pembersihan atau clean up limbah batu bara yang masih bisa diambil dari lahan rumah warga.

Penimbunan limbah B3 oleh PT PRIA di dalam area lahan yang akan dibangun pabrik tahun 2010 pernah diakui Direktur PT PRIA Luluk Wara Hidayati. Hal ini terbukti dari surat pernyataan yang ditandatangani Luluk setelah pertemuan antara manajemen PT PRIA dan masyarakat di Kantor Kecamatan Jetis, 23 Oktober 2013. 

Dalam pernyataannya, Luluk berjanji tidak akan membuang dan menimbun limbah B3 serta siap bertanggung jawab jika terjadi kerusakan lingkungan yang diakibatkan. Bahkan Luluk menawarkan sejumlah uang sebagai kompensasi, namun tawaran kompensasi itu ditolak sebagian besar masyarakat. Luluk juga berjanji memprioritaskan untuk merekrut pekerja dari dua dusun yang terdampak, Dusun Kedung Palang dan Sambi Gembol. 

Surat pernyataan tersebut ditandatangani di atas materai dan disaksikan Forum Komunikasi Pimpinan Kecamatan (Forkopimcam) Jetis. Kepala Desa dan Badan Perwakilan Desa (BPD) Lakardowo serta lima tokoh masyarakat juga ikut menandatangani sebagai saksi.

Namun, penimbunan limbah B3 di lahan yang akan dibangun pabrik PT PRIA dibantah bos Tenang Jaya Group yang juga Direktur Utama PT Tenang Jaya Sejahtera (TJS), Tulus Widodo. PT PRIA merupakan satu dari 14 perusahaan milik Tenang Jaya Group yang dikendalikan Tulus. 

“Tidak ada penimbunan, semua kami musnahkan dan ada yang diolah jadi barang yang bermanfaat,” kata Tulus usai menerima kunjungan Komisi VII DPR RI di pabrik PT PRIA, 24 November 2016 lalu.

Namun, Tulus mengakui masih ada kekurangan dalam operasional PT PRIA. Tulus mengaku siap jika diberi sanksi. “Memang masih ada kekurangan dan perlu pembenahan ke depan,” katanya. 

Related posts

Leave a Reply