Menghitung Beban Warga Lakardowo akibat Salah Kelola Limbah B3 PT PRIA

DEMONSTRASI - Warga Desa Lakardowo, Kec. Jetis, Kab. Mojokerto, menggelar demonstrasi di Kantor Gubernur Jawa Timur, 27 Agustus 2016 lalu. Mereka mendesak pemerintah membongkar timbunan limbah B3 di dalam area pabrik PT PRIA. Dok: Ecoton

Beban Hidup Warga Bertambah, Beli Air dan Berobat

Keberadaan PT PRIA memang bisa berdampak positif pada warga yang jadi pekerja atau karyawan di perusahaan setempat. Sebab, bisa jadi kesejahteraan mereka meningkat dibanding bekerja sebagai petani atau buruh tani. 

Read More

Namun, biaya sosial akibat penimbunan limbah B3 yang pernah dilakukan jauh lebih besar dan mungkin tidak bisa dihitung karena berdampak panjang. Tidak hanya pada lingkungan, manusia di sekitarnya juga terdampak. 

Dampaknya, beban ekonomi warga yang rata-rata bekerja sebagai buruh tani bertambah. Selain terbatasnya penghasilan sebagai buruh tani, mereka kini harus menanggung beban tambahan untuk membeli air bersih dan berobat atau beli obat secara mandiri ke dokter dan apotek. 

Penulis telah melakukan survei biaya pembelian air bersih dan berobat atau beli obat pada 52 responden terdiri dari warga Dusun Sambi Gembol, Sumber Wuluh, Selang, dan Kedung Palang di Desa Lakardowo. Survei dilakukan dengan kuesioner selama 25 September 2022 hingga 4 Oktober 2022. 

Dari 52 responden, seluruhnya mengaku tiap bulan harus mengeluarkan biaya pembelian air bersih. Biaya yang dikeluarkan bervariasi mulai dari Rp24 ribu hingga Rp240 ribu per bulan. Hal ini tergantung jumlah anggota keluarga dan banyaknya volume air yang digunakan untuk mandi anak atau bayi, minum, dan memasak. Harga satu galon air bervariasi antara Rp2.000 hingga Rp5.000.

Jika dibandingkan dengan pendapatan warga, maka beban beli air bersih tersebut cukup memberatkan. Misalnya, seperti yang dialami Kasanah, warga Dusun Sambigembol. Menurut data survei, Kasanah hanya memiliki pendapatan Rp300 ribu dan biaya membeli air bersih dalam sebulan mencapai Rp100 ribu atau menghabiskan sepertiga atau tepatnya 33,3 persen dari pendapatannya.

Begitu juga yang dialami Nurul Muhasanah, warga Dusun Kedungpalang. Pendapatannya hanya Rp1 juta dan biaya membeli air bersih sebulan Rp150 ribu sehingga 15 persen pendapatannya tergerus untuk membeli air bersih.

Ningseh, warga Dusun Sumber Wuluh, juga harus menyisihkan 14,29 persen pendapatannya untuk membeli air bersih. Ia hanya berpenghasilan Rp700 ribu dan biaya membeli air mencapai Rp100 ribu sebulan. 

Suwono, warga Dusun Sambigembol, juga terpaksa menyisihkan 13,3 persen pendapatannya untuk membeli air bersih. Ia berpenghasilan Rp900 ribu dan biaya membeli air mencapai Rp120 ribu sebulan. 

Sedangkan Kamid, Sukar, dan Sumali, ketiganya warga Dusun Sambigembol, harus merelakan 12 persen pendapatannya untuk membeli air bersih. Kamid berpenghasilan Rp500 ribu dengan biaya membeli air bersih Rp60 ribu, Sukar berpendapatan Rp1 juta dengan biaya membeli air bersih Rp120 ribu sebulan, dan Sumali berpendapatan Rp2 juta beban biaya membeli air bersih Rp240 ribu sebulan. 

Dari 52 responden yang menyebutkan biaya membeli air bersih, ada 4 responden yang tidak menyebutkan pendapatan mereka. Sehingga ada 48 responden yang bisa dihitung persentase pendapatan mereka yang habis digunakan untuk biaya membeli air bersih. Jika dirata-rata dari 48 responden tersebut, rata-rata biaya membeli air bersih menggerus 6,79 persen pendapatan mereka.

Sementara itu, dari 52 responden, 46 orang menyebutkan biaya berobat atau beli obat di apotek untuk mengobati dermatitis. Biayanya bervariasi mulai dari Rp20 ribu sekali beli obat hingga Rp1 juta untuk biaya berobat dalam jangka waktu tertentu. 

Biaya ini di luar pengobatan gratis yang pernah dilakukan di balai dusun maupun jaminan BPJS Kesehatan yang dimiliki warga. “Sebab, ada juga yang harus ke dokter dan beli obat di apotek secara mandiri, karena kalau pakai obat dari Puskesmas, nggak sembuh-sembuh,” kata salah satu warga Dusun Sambi Gembol, Suwono. 

Suwono juga mengalami dermatitis karena masih menggunakan air sumur untuk mandi. Air isi ulang yang ia beli hanya digunakan untuk minum dan memasak. Ia mengaku biaya membeli obat dermatitis di apotek rata-rata Rp15 ribu dan digunakan untuk satu minggu. 

“Kalau sampai sebulan berarti Rp60 ribu. Biaya segitu kalau bagi warga sini yang rata-rata buruh tani dengan pendapatan yang tidak mesti, ya cukup besar,” kata Suwono yang kulit lutut kaki dan sikutnya tampak meradang dan bersisik. 

Pendapatan Suwono dan mayoritas warga Desa Lakardowo sebagai buruh tani rata-rata Rp50-60 ribu per hari dengan jam kerja pagi sampai siang. “Itu kalau ada yang membutuhkan (mempekerjakan), kalau nggak ada yang ngajak kerja ya nggak ada penghasilan,” katanya. 

Karena keterbatasan penghasilan, berbagai cara dilakukan warga untuk mengobati dermatitis, termasuk Suwono. Ia pernah mengalami dermatitis sampai di kulit kepala dan telinga. “Sesuai saran warga, saya gunakan daun minyak kayu putih (eukaliptus), saya gosok-gosokkan di kepala dan telinga setiap hari, alhamdulillah bisa sembuh,” katanya.

OBAT DERMATITIS – Suwono, warga Dusun Sambi Gembol, Desa Lakardowo, Kecamatan Jetis, Kabupaten Mojokerto, menunjukkan obat yang dibeli dari apotek untuk mengobati dermatitis yang dialami, Minggu, 2 Oktober 2022. Foto: Ishomuddin
BERSISIK – Kulit lutut kaki dan siku Suwono mengalami peradangan dan tampak bersisik karena masih menggunakan air sumur yang diduga tercemar limbah B3 di Dusun Sambi Gembol, Desa Lakardowo, Kecamatan Jetis, Kabupaten Mojokerto, Minggu, 25 September 2022. Foto: Ishomuddin

Sementara itu, dari 52 responden, ada 14 orang yang menyatakan pernah mengalami ISPA. Namun dari 14 orang tersebut, hanya 9 responden yang menyebutkan biaya pengobatan ISPA, yakni antara Rp50 ribu sampai Rp600 ribu untuk sekali beli obat atau berobat ke dokter. 

Sumber: Hasil Survei dengan Kuesioner pada 52 Responden Warga Desa Lakardowo

Koordinator Green Woman, Sutamah, mengatakan pada 2016, masyarakat sempat bergotong royong mengumpulkan uang untuk membeli tandon penampung dan air bersih yang didatangkan dari wilayah pegunungan di Kecamatan Pacet, Kabupaten Mojokerto, sekitar 40 kilometer dari Lakardowo.

“Hasil dari urunan (sumbangan) dikumpulkan dan dibelikan tandon dan air yang akan dibagi-bagi ke masyarakat,” katanya. Salah satu tandon berukuran besar sebagai penampung berada di rumah Sutamah. “Ini sudah tiga kali ganti tandon, karena yang sebelumnya rusak (retak),” katanya. 

Namun saat ini, antusias warga untuk menggalang dana secara swadaya berkurang sehingga Sutamah berinisiatif membeli sendiri air dan dijual lagi ke masyarakat. “Saya beli air satu tanki truk Rp350 ribu dan dijual lagi Rp2.000 per galon, tapi kadang saya gratiskan kalau untuk mandi anak-anak,” ujarnya. 

Selain menggalang dana dari masyarakat, pada tahun 2016 sempat ada bantuan dari Pemprov Jawa Timur setelah Wakil Gubernur Jawa Timur saat itu, Saifullah Yusuf, berkunjung ke Lakardowo. Pemprov akhirnya memberikan bantuan uang. “Uang itu kami gunakan untuk beli tandon dan air, namun hanya cukup untuk delapan bulan,” kata Ketua Perkumpulan Pendowo Bangkit, Nurasim.

Butuh Solusi Jangka Panjang

Pakar limbah B3 yang juga dosen Teknik Lingkungan Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya, I Dewa Ayu Agung Warmadewanthi, mengatakan dampak pencemaran limbah B3 di Desa Lakardowo dan Sidorejo akan berlangsung lama. 

“Kalau sekarang dilakukan clean up, kalau dianalisis kandungan logam berat dan limbah berbahaya lainnya mungkin di bawah baku mutu, tapi historinya sebelum dilakukan clean up masyarakat khan kena. Itu akumulasi, dari limbah itu dalam tubuh orang terakumulasi,” kata peraih gelar PhD bidang teknik kimia dari National Taiwan University of Science and Technology ini.

Menanggapi berbagai uji sampel air dan tanah di Lakardowo yang dilakukan berbagai pihak termasuk pemerintah, Warmadewanthi mengatakan hasil penelitian tergantung lokasi dan jumlah sampling serta analisisnya. “Karena berkaitan dengan validitas dan reliabilitas atau keandalan data. Artinya, karena melakukan sampling, representasi sampling sangat penting apakah berpengaruh atau tidak,” kata Warmadewanthi.

Meskipun tim auditor independen yang ditunjuk Kementerian LHK menyimpulkan tidak ada kaitan antara kualitas air sumur yang memburuk dengan penimbunan limbah B3 PT PRIA, Warmadewanthi menyarankan pada masyarakat agar tetap menjaga kebersihan dan sanitasi. 

“Kebersihan dan sanitasi harus dijaga dan pasti tidak bisa menggunakan air bersih (sumur) yang ada di rumahnya masing-masing karena kemungkinan besar sudah tercemar oleh penumpukan limbah B3 yang ditumpuk sebelumnya,” katanya.

Untuk pemerintah, Warmadewanthi mengingatkan agar tetap melakukan pengawasan pada PT PRIA dan meneliti laporan hasil uji sampel air di sumur pantau PT PRIA yang dilaporkan secara berkala. “PT PRIA harus melaporkan secara berkala ke pemerintah pusat dan daerah, itu bisa ditindaklanjuti (pemerintah) dengan tetap memberikan sosialisasi ke masyarakat,” katanya.

Mengenai air bersih, ia juga menyarankan agar pemerintah membantu penyediaan air bersih bagi warga karena air sumur mereka sudah tidak layak digunakan mandi, minum, dan memasak.

“Walaupun mungkin daerah itu menurut pemerintah tidak ada pencemaran, tapi buktinya bisa dilihat bahwa sanitasi masyarakat perlu diperbaiki dan dibantu pemerintah termasuk penyediaan air bersih,” ujarnya.  

Menurutnya, sebagai solusi jangka panjang, pemerintah bisa membangun jaringan pipa air bersih yang layak digunakan sehingga masyarakat tidak perlu lagi membeli air bersih dari luar daerah.

“Paling tidak disediakan jaringan perpipaan untuk distribusinya ke sana, supaya masyarakat tidak memanfaatkan air sumur,” katanya. 

Ia juga mengusulkan harus ada keringanan retribusi air bersih bagi masyarakat tidak mampu. “Masyarakat bisa masuk klasifikasi sebagai misalnya MBR (Masyarakat Berpenghasilan Rendah) yang tentu saja retribusi airnya jauh lebih kecil, pemerintah harus menyediakan itu kalau memang merasa daerah itu tidak tercemar B3,” katanya. 

Bagi PT PRIA, ia mengingatkan agar tidak lagi melakukan pelanggaran dalam pengelolaan limbah B3 termasuk penimbunan tanpa izin tahun 2010 dan penjualan limbah B3 berupa limbah batu bara ke warga seperti yang pernah terjadi selama tahun 2012 hingga 2015. “Jangan ada dusta di antara kita, artinya jangan lagi terjadi pembuangan ilegal ke lokasi sekitar,” katanya.

Ia juga menyarankan agar PT PRIA bersama pemerintah ikut membantu penyediaan air bersih bagi warga. “Enggak ada salahnya ngadain air bersama pemerintah, paling tidak penyediaan air bersih bersama pemerintah,” ucapnya. 

Ketua Perkumpulan Penduduk Lakardowo (Pendowo) Bangkit, Nurasim, mengatakan jaringan pipa PDAM sebenarnya sudah masuk di Desa Lakardowo, namun masih sedikit warga yang bersedia jadi pelanggan. “Memang dulu ada semacam kesepakatan dari warga bahwa bagaimanapun juga harus tetap menggunakan air sumur,” katanya. 

Meski begitu, Nurasim akhirnya terpaksa menjadi pelanggan PDAM sejak tahun 2021. “Kalau saya ada alasannya, karena untuk mengebor sumur di lokasi tempat saya tinggal ini bisa mencapai 55 meter baru keluar airnya,” kata warga Dusun Sambi Gembol ini. Dalam sebulan, rata-rata ia membayar biaya langganan air bersih PDAM Rp85-90 ribu. 

Sementara itu, Direktur Eksekutif Ecoton, Daru Setyorini, mengatakan akibat kualitas air sumur warga yang memburuk karena tercemar limbah B3, maka harus dicari solusi lain yang tidak memberatkan warga. Sebab warga selama ini terpaksa membeli air bersih dari daerah lain untuk kebutuhan mandi anak-anak, minum, dan memasak. 

“Harus ada sumber air bersih lain, dari PDAM, atau diberi filter (penyaring) di sumurnya, atau (tadah) air hujan,” ujarnya.

Daru juga mengingatkan PT PRIA untuk tidak lagi menimbun limbah B3. “Paling tidak, tidak ada tambahan baru lagi yang ditimbun. Saran kita, mereka berhenti menimbun karena dampak timbunan yang lama mencemari sumur di sana,” kata Daru yang juga dosen Fakultas Pertanian Universitas Darul Ulum (Undar) Jombang, Jawa Timur. (*)

Penulis: Ishomuddin

Karya ini merupakan hasil Pelatihan Jurnalisme Data Investigasi 80 Jam untuk Jurnalis yang diselenggarakan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia dengan dukungan USAID dan Internews. Karya ini dimulai dengan tahapan mengumpulkan data dengan database (basis data) dan dituangkan dalam kerangka masterfile (dokumen induk). Berikut link database dan masterfile tersebut. 

Related posts

Leave a Reply